POROSMAJU – Pemerintah Kolonial melalui kongsi dagangnya, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, pernah melarang masyarakat membakar petasan pada musim kemarau.
Kongsi dagang yang memonopoli perdaganagn di Asia ini, melarang hal tersebut pada tahun 1650. Larangan membakar petasan diberlakukan terutama di bulan-bulan kemarau seperti Desember, Januari, dan Februari.
Bahaya petasan karena dianggap dapat memicu kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah. Demikian pula pada rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu dan atap rumbia.
Alasan lainnya tergolong unik, yaitu faktor keamanan. Pelarangan pembakaran petasan karena penguasa VOC sulit membedakan bunyi ledakan petasan dengan letusan senjata api.
Sebagaimana dimuat laman Historia, Bakdi Soemanto dalam buku “Cerita Rakyat dari Surakarta” mengungkapkan, masyarakat etnis Tionghoa pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan terhadap VOC. Karena itu, para bule bengis itu ketakutan dengan bunyi petasan.
Perlawanan orang-orang Tionghoa terjadi pada 30 Juni 1742 di Surakarta. Ini karena orang-orang Tionghoa merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa, terlebih bagi masyarakat etnis ini di Batavia.
Perlawanan Tionghoa atas VOC menggunakan petasan ini membuat bala tentara Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang saat itu memihak Belanda, lari terbirit-birit. Dikiranya bunyi petasan adalah bunyi senapan. Atas ini, VOC tidak kalah bingungnya. Lucunya!
Tidak henti di situ, pelarangan petasan juga pernah diterapkan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Akan tetapi, sejarah pelarangan petasan di negeri ini berjalan dengan sejarah kesia-siaan larangan tersebut.
Petasan yang diyakini dibawa oleh masyarakat Tiongkok ini telanjur membudaya (heixis) dengan masyarakat. Seremoni khitanan, perkawinan, dan maulidan orang Betawi, misalnya, tiada petasan bagai taman tak berbunga.
Di masa pasca penjajahan, pelarangan petasan pernah sampai dibawa ke sidang kabinet Presiden Suharto. Sidang tersebut bahkan digelari “Sidang Kabinet Paripurna”. Hal ini terjadi 12 Oktober 1971.
Sidang Kabinet Paripurna dilaksanakan sebagai respons atas jatuhnya banyak korban karena seremoni yang Historia sebut sebagai “pesta petasan” di Jalan Thamrin, Jakarta, atas prakarsa Gubernur Ali Sadikin yang nyentrik.
Demi meriahnya perayaan malam Tahun Baru tahun 1971, Gubernur Jakarta Ali Sadikin memang enyulut petasan sebagai tanda dimulainya “pesta petasan”. Ini untuk hiburan warga Jakarta.
Berton-ton mercon dibakar. Celakanya, banyak korban berjatuhan. Tempo, 13 November 1971 mengabarkan, 50–60 orang diangkut ke kamar mayat, bangsal-bangsal bedah, dan poliklinik. Seorang warga Amerika juga menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit.
Hasil dari sidang kabinet Suharto tersebut membuahkan serangkaian larangan dan instruksi khusus soal petasan. Hanya petasan jenis “cabe rawit” dan “lombok merah” yang diperbolehkan.
Istilah petasan “cabe rawit” dan “lombok merah” adalah asosiasi untuk petasan berukuran tidak lebih 8 cm. Kedua jenis petasan ini, sesuai instruksi, hanya boleh dijual jika itubikinan dalam negeri, demi menghemat devisa negara, katanya.
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud lalu mengirimkan kawat kepada gubernur seluruh Indonesia, antara lain tentang ukuran mercon yang diizinkan: “Tidak boleh lebih panjang dari 8 cm, tidak boleh lebih lebar dari garis tengah 1 cm, dan isinya tidak boleh berat dari 10 gram,” sebagaimana dimuat di Historia.
Amir Machmud juga taklagi mengeluarkan izin impor mercon. Kapolri Komjen. Pol. Moh. Hasan menginstruksikan semua pejabat polisi tertinggi di setiap provinsi untuk menertibkan pemasangan dan pembuatan mercon.
Tempo juga melaporkan ulama Hamka, hingga menteri agama pernah mencarikan ayat mau pun hadis yang mencegah orang membakar mercon. Imron Rosjadi SH, ketua IV NU, pernah pula melarang orang Islam menyulut mercon dalam sebuah khutbah di Masjid Istiqlal.
“Tapi orang-orang melototkan matanya pada saya,” ungkap Imron Rosjadi dikutip Historia.
Pada 22 Oktober 1971, bersama Jenderal Maraden Panggabean selaku Panglima ABRI, Amir Machmud berseru tanpa ayat dan hadis: “Pemasangan petasan bukanlah suatu keharusan agama, pemasangan petasan hanyalah suatu penghamburan uang yang tak berguna.” RRI menyiarkan ini berulang-ulang sbeagai imbauan yang teramat penting dan krusial.
Sekali lagi, sejarah pelarangan petasan sejalan dengan sejarah kesia-siaan larangan tersebut. Meski, Polisi merazia penjual dan pemilik petasan, memusnahkan banyak petasan, tapi Hsitoria melaporkan, petasan impor tetap saja masuk lewat pelabuhan.
Produsen dan penjual petasan juga diam-diam menjualnya. Setiap tahun, sekali pun ada larangan, razia, korban juga selalu berjatuhan, petasan masih mewarnai suasana perayaan di Indonesia.
Hingga kini pun demikian. Regulasi perihal petasan sudah disusun dengan kata-kata memesona. Peristiwa meledaknya pabrik petasan yang disiarkan masif pun tak mengubah keadaan.
Malah, disinyalir, masyarakat kini, terkhususnya di Kota Makassar, telah terjadi pergeseran perihal simbol buyi-bunyian tahun baru. Dahulu, tahun baru identik dengan bunyi terompet, kini tahun baru beralih identik dengan bunyi petasan.
Hal ini sesuai dengan pengakuan sejumlah pedagang yang mengaku banyak yang beralih dari menjual terompet menajdi menjual petasan. Pengakuan sejumlah warga Makassar pun menguatkan sinyalir ini.
Sejumlah warga mengakui, jelang perayaan tahun baru kali ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dahulu, minus beberapa hari perayaan tahun baru, suara terompet terdengar riuh. Kini, bunyi berganti menjadi ledakan petasan. Hal ini diakui warga Alauddin, Toddopuli, Pampang, Veteran, dan Rappokalling, Makassar.