POROSMAJU.COM, Kumpulan esai yang terbit pertama kali pada September 2016 ini terdiri dari 100 esai pilihan yang pernah diterbitkan di Koran Tempo Makassar antara tahun 2014-2016.
Terbagi ke dalam 10 ilustrasi, 48 penulis turut meramaikan ideologi yang termuat dalam dialog-dialog antara pribadi dan kotanya pun antara kota dan masyarakatnya.
Penulis-penulis yang – notabenenya adalah penulis muda Makassar ini – turut menyumbangkan ideologinya pada tataran wilayah kritik, secara spontan dan tidak langsung juga memberikan sumbangsi pandangan dengan bahasa ringan, yang menawarkan tema untuk didiskusikan bersama dan selanjutnya dimaknai sendiri-sendiri.
Seperti yang diungkapkan oleh Alwy Rachman pada bagian sampul belakang kumpulan esai ini,
“Literasi ‘Telinga Palsu’ adalah wadah kemerdekaan. Ia adalah seratus tulisan yang dihadirkan melalui mental yang merdeka, intelektual yang cerah. Ia setara dengan respons yang membebaskan, tanpa terperangkap oleh ekspresi penuh amarah, tanpa perlu menjadi ‘narapidana’ di dalam kalimat-kalimat liar, binal, dan banal.”
Sebenarnya akan sangat menyenangkan ketika seluruhnya dapat terangkum di sini, tapi sekali lagi, sangat disayangkan jika tulisan-tulisan ini tidak dituntaskan di ruang-ruang diskusi kita.
Pada bagian ilustrasi pertama, digelarlah wacana tentang wajah pendidikan kita. Mulai dari sistem sampai kepada bentuk komersialisasi bahkan sampai kepada bagaimana masing-masing personal memahami perannya dalam ruang lingkup pendidikan.
“Pada akhirnya, pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan untuk memenuhi kebutuhan pengusaha. Ilmu pengetahuan dan institusi pendidikan tak lagi mengajarkan kita akan kebenaran yang sesungguhnya. Laku birokrasi yang sok alim tapi zalim dan lalim terkunci rapat di laci meja kerjanya.” (Harry Isra, Universitas Hampir Swasta, hal. 14)
Selanjutya pembaca diajak memahami atmosfer kota melalui cara yang sarkas tapi lembut, tentang anak-anak yang tumbuh dan besar di kota, tentang hiruk pikuk, keramaian, serta kepenatan kota besar. Pembicaraan tentang cara pandang pun tidak ketinggalan. Sekalian tentang perbedaan persepsi yang selalu berakhir menjadi perdebatan panjang.
Tafsir-tafsiran mengenai waktu pun dimunculkan di sesi yang lain. Euforia waktu luang dan perspektif tentang masa lalu, kini, dan sekarang disampaikan dengan apik. Serta tentang sampah-sampah di sekitar kita juga tentang analogi yang dilahirkannya.
“Terompet dan petasan bersahut-sahutan merayakan sebuah irama aktivitas bersama yang langka tapi pada dasarnya sama: kita hanya merayakan waktu luang.” (Hasrul Eka Putra, Momo dan Perayaan Waktu Luang, hal. 125).
Berbagai kebiasaan yang lahir dari perilaku pelaku peradaban diselipkan dengan manis di bagian yang lain, serta konstruk-konstruk tertentu yang melahirkan pribadi tertentu pula.
Lalu bagaimana membahas politik? Pada bagian ini dibahaslah tentang seluruh aspek masyarakat yang terlibat di dalamnya, tentang “calon-calon” kita dengan citra yang tiba-tiba, janji-janji para politisi, sampai kepada mengapa kepercayaan masyarakat terhadap rana politik bisa surut.
“Saya sama sekali tak punya pengalaman memilih dalam pemilihan umum. Bahkan ketika seorang pemilih harus ditandai dengan mencelupkan ujung kelingkingnya ke tinta setelah memilih, saya merasa tak sepadan mengotori kelingking saya untuk membuat berkuasa sebuah partai atau seorang politikus yang saya anggap buruk.” (Aslan Abidin, Tak Golput Lagi, hal. 298).
Teror kekerasan visual televisi dan tawaran dunia maya adalah persoalan klise. Namun pada bagian ini kita diajak untuk berpikir sederhana dan memaknainya dengan sederhana pula. Diam-diam kita sepakat, menolak sekaligus estase. Demikianlah cara teknologi meguasai peradaban.
Pada bagian terakhir pembaca dituntun untuk mendengar kembali kebisingan kota dan memaknai telinga palsu pemerintah kita. Beberapa orang memang tuli, tuli yang dibuat-buat.
“Mungkin saja, pada masa mendatang bakal sering kita temui orang yang pandai menjadi tuli. Kita juga akan menemukan bahwa kita tak lagi mampu mendengarkan diri sediri. Telinga palsu kita adalah masalah yang mesti diselesaikan. Mendengarkan akan selalu dimaknai sebagai kehadiran yang sesungguhnya. Sebab, ketika kita mulai mendengarkan, keheningan kita merupakan ekspresi kasih yang lebih kuat dari kata-kata. Mendengarkan akan menjadikan hidup lebih indah daripada apa yang kita bayangkan selama ini.” (Wawan Kurniawan, Kepada Telinga Palsu Kita, hal. 397).
Review Buku Telinga Palsu; 100 Literasi Pilihan Koran Tempo Makassar 2014-2015
Admin3 min read