Example 728x250
Berkhas

Sistem Demokrasi Bugis Lebih Dahulu Sebelum Konsep J. J. Rousseau

79
×

Sistem Demokrasi Bugis Lebih Dahulu Sebelum Konsep J. J. Rousseau

Share this article
Example 468x60

Sistem Demokrasi Bugis Lebih Dulu sebelum J. J. Rousseau Menuliskannya
Ilustrasi (paccaritaku.wordpress.com)

POROSMAJU.COM, Idealnya, seorang pemimpin ialah orang yang mengedepankan kepentingan masyarakat agar sistem yang tercipta memprioritaskan kepentingan bersama. Jika tidak, ketimpangan tentu terjadi dan fungsi rakyat akan menjadi pasif.
Sejalan dengan itu, Mashadi Said dalam bukunya Jati Diri Manusia Bugis (2016), mengungkapkan, suatu sistem sosial yang menempatkan masyarakat sebagai objek akan menjadikan manusia yang hidup di dalamnya memiliki jiwa dan semangat yang pasrah kepada keadaan, mengakibatkan hilangnya inisiatif untuk mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa awal dari tumpulnya nalar rakyat berawal dari sikap yang dicanangkan pemimpinnya. Keinginan penguasa tidak dapat disanggah, nalar masyarakat tidak lagi berjalan. Segala sesuatunya diserahkan secara penuh kepada penguasa.
Gambaran tentang kewajiban pemimpin dapat dilihat pada lambang Kabupaten Soppeng yang memuat ungkapan;
Dongirikeng temmatippa’,
Salipurikeng temmadinging,
Wessekeng temmakapa
Artinya;
1. Pemimpin menjaga agar burung pipit tidak memakan padi rakyat. Artinya, pemimpin menjamin agar harta benda rakyat tidak dicuri atau dirampas oleh orang jahat.
2. Pemimpin menyelimuti kami agar tidak dingin. Artinya, pemimpin menjamin ketersediaan pakaian, perumahan, dan kesehatan rakyat.
3. Ikatan padi yang tidak hampa. Artinya, pemimpin mengusahakan agar rakyatnya tidak kehabisan makanan dan selalu dapat memperoleh panen yang cukup.
Dari tiga ungkapan singkat tersebut jelas diketahui betapa penting peran pemimpin dalam mengayomi rakyatnya. Rakyat berada pada posisi teratas dalam bagan pemerintahan.
Kepentingan rakyat selalu menjadi yang utama. Karena itu selalu ada bentuk yang mengatur hubungan antara pemimpin dan rakyatnya.
Jalinan hubungan antara pemimpin dan rakyatnya digambarkan dalam Lontara’ Sakkuna Wajo;
“Janganlah engkau wahai para Arung beritikad jahat terhadap rakyatmu. Akan padam api tungkumu (api kemuliaanmu), dan kalian penduduk janganlah beritikad buruk terhadap ragamu, akan padam api perapian (engkau akan ditimpa bencana) (hal.337).”
Jadi tidak hanya raja yang bertanggung jawab terhadap rakyat. Rakyat pun harus menempatkan rasa hormat terhadap orang yang memimpin mereka agar sistem pemerintahan tidak timpang. Karena pada dasarnya keduanya sama memiliki kedudukan penting.
Selain itu, pemimpin tidak seharusnya memberlakukan secara istimewa orang-orang terdekat. Di Sidenreng Rappang, La Pahala Nene’ Mallomo pada abad XVI sebagai murid La Taddampere yang baik, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri, yang terbukti menggunakan luku orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Ketika ditanya, apa sebab memidana mati putranya, dan apakah ia menilai sama jiwa putranya dengan hanya sebuah luku, beliau menjawab: “Ade’e temmakiana’ temmakieppo” (Zainuddin Abidin, 1983: 124). Artinya, “hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu”.
Suku Bugis juga telah menunjukkan sistem demokrasi bahkan 300 tahun sebelum sistem tersebut diperkenalkan Jean Jacques Rousseau di Eropa pada abad XVIII. Hal tersebut dapat dilihat melalui pilihan-pilihan mereka mengambil tindakan penolakan.
1. Mangnganro ri ade’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu.
2. Mapputane‘, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap rakyat.
3. Mallimpo-ade’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha mapputane’ gagal.
4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipil masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku oleh Raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan.
5. Mallekke’ dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain (Mattulada, 1985).
Jadi tidak perlu jauh-jauh ke Eropa sana untuk belajar demokrasi, karena suku Bugis sudah menerapkannya jauh-jauh hari.
Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *