POROSMAJU.COM, Baru-baru ini obrolan di sebuah grup, tempat teman-teman biasa menginfokan seputar dunia kesusastraan dibuat heran dengan pemberitaan yang beredar.
Pihak tertentu melaporkan buku yang dinilai berkonten pornografi ke pihak tertentu. Sampel buku “Perempuan Bernama Arjuna” karangan Remy Silado itu diambil dari Perpustakaan sekolah tertentu, di sebuah provinsi tertentu pula.
Kurang lebih begitulah garis besarnya. Pasalnya, mereka merasa lucu karena menurut hemat masing-masing, masih ada, bahkan masih banyak buku-buku jenis lain yang lebih vulgar sekaligus frontal.
Sambil menyumbang komentar judul buku, satu persatu menyelipkan emoticon tertawa sampai keluar air mata. Mungkin mereka membayangkan ketika semua buku-buku yang dimaksud dibaca oleh pihak tertentu, maka habislah sudah buku-buku terbaik di negeri ini karena disita pihak- pihak tertentu.
Menebak perspektif pihak tertentu, izinkan saya memberi penjelasan singkat kenapa berita ini mungkin terdengar seperti lelucon
Karya sastra adalah cerminan realitas
Melalui konsep mimesis, Plato menjelaskan bahwa karya sastra adalah murni tiruan. Sementara Aristoteles menyertakan proses kreatif di dalamnya.
Kita paham bahwa hidup tidak hanya ada warna putih, dan setiap jengkal sisi kehidupan sangat sayang untuk dilewatkan tanpa menuliskannya. Ini karena karya sastra juga berperan sebagai dokumen sejarah.
Apa jadinya kalau dunia penerbitan juga punya lembaga sensor? Tidak menutup kemungkinan, nikmat membaca kita akan turut tercabut.
Jika buku yang dimaksud mengandung konten pornografi, kenapa pihak tertentu tidak pernah berpendapat demikian? Mungkin jawabannya karena ini hanyalah persoalan sudut pandang.
Bagaimana orang-orang menafsirkan seks
Wajar jika selama ini kita bersepakat bahwa seks adalah pornografi dan pornografi sebatas seksualitas, serta wacana seksualitas hanya diselimuti tindak kejahatan. Ini adalah gejala hiperealitas.
Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Berlari menuliskan, “Layaknya karya seni, seks mengubah cara kita melihat relasi diri kita sendiri, orang lain, dan dunia dalam konteks kehidupan bersama, khususnya ” Relasi seksual”. Dengan kata lain, seks adalah “seni” membangun dunia bermakna bersama orang lain”.
Perkembangan bentuk-bentuk hubungan seks yang baru di dalam ruang-ruang virtual telah mengubah “relasi seksual” itu sendiri, baik dalam konteks geografi, temporalis, spasial, psikis, sosial, dan kultural.
Ketika kita melihatnya dari satu sisi saja, jangan heran jika pandangan kita hanya menyentuh wilayah umum. Aktivitas seks terlepas dari fitrahnya karena penyebarannya melalui ruang-ruang virtual. Tidak pernah sama sekali kita mendengar orang horny sambil membaca buku.
Bagaimana dunia ditafsirkan
Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Ricoeur, dunia yang diproyeksikan melalui teks bergantung pada bagaimana teks itu ditafsirkan. Sedangkan teks dapat ditafsirkan dengan cara yang bermacam-macam.
Sebuah interpretasi merupakan konstruksi makna dan formulasi dari apa yang dikatakan dalam wacana, memunculkan klaim kebenaran yang menuntut pengakuan.
Pada dasarnya, sebuah penafsiran selalu datang dari pengalaman dan hasil pembacaan masing-masing. Selama hal tersebut masih disadari, maka tidak ada salahnya untuk menghormati cara setiap individu mau pun kelompok dalam menafsirkan teks.
Buku tertentu untuk pembaca tertentu.
Dalam ranah kesusastraan, dikenal istilah pembabakan, dikenal pula istilah pembacaan zaman. Bagi pihak-pihak tertentu, tidak satu pun pembabakan harus dilewatkan.
Ini dalam artian, membaca zaman adalah tugas negara, sama wajibnya dengan memberi penghormatan ketika bendera dikibarkan.
Bahkan, sebelum hari ini, kita diperkenalkan dengan genre stensilan oleh Fredy S, sebuah bacaan yang dianggap menyelipkan unsur pornografi. Bacaan ini juga pernah popular pada masanya meski tak pernah sampai dilaporkan.
Tawaran solusi
Jika proses hukum yang dimaksud mengarah pada pihak yang meloloskan buku tersebut ke sekolah, maka tidak jadi masalah. Tapi bagaimana jika proses hukum mengarah pada Si penulis dan penerbit?
Solusinya, silakan tarik buku-buku tersebut dari perpustakaan sekolah, karena memang buku yang dimaksud belum bisa dimaknai sebagai ‘pelajaran hidup’ bagi individu yang selama ini hanya menamatkan buku-buku LKS.
Ketika buku-buku yang beredar diidentifikasi satu satu lantas ditemukan unsur pornografi, buku tersebut kemudian disita, dihentikan penyebarannya. Apakah iya, kasus kejahatan seksual akan surut?
Sementara yang memegang peran penting dalam penyebaran hal-hal yang dianggap negatif justru lebih banyak berasal dari layar ponsel yang dihubungkan ke internet.
Mari belajar lebih legowo dalam menghadapi zaman. Atas dasar apa pun, menghakimi tidak pernah dibenarkan oleh semua aturan, hukum, termasuk oleh agama.