Example 728x250
Berkhas

"Saya Pengangguran!" Apa Itu Bukan Penghinaan terhadap Presiden?

115
×

"Saya Pengangguran!" Apa Itu Bukan Penghinaan terhadap Presiden?

Share this article
Example 468x60

Malu Bertanya, Mending Pulang?
Ilustrasi (Ardizas)

POROSMAJU.COM, MAKASSAR, Setiap perkataan dan tidakan akan diamati oleh sebuah “polisi pikiran” yang siap menciduk anda. Sedikit kata, sedikit gestur yang dianggap mencurigakan, akan membuat anda akan menjadi seseorang yang kehilangan segalanya, termasuk idealisme. Semua yang tidak sepaham dan sepakat dengan pemerintah akan dilenyapkan.
Narasi di atas adalah tafsiran bebas tentang novel Geogre Orwell yang bejudul 1984. Sebuah novel yang bercerita tentang keadaan suatu negara yang menguasai seluruh aspek masyarakatnya, termasuk ruang privatnya.
Terus apa hubungannya dengan Indonesia? Meski tidak persis sama, hanya saja arah menuju Politik Orwellian tampaknya sedang menuju ke arah sana.
Hal ini tercermin dalam perpaduan dua Undang-Undang yang dihasilkan orang kepercayaan rakyat di Senayan, UU IT dan UU Tentang Penghinaan Presiden.
Senin, 5 Februari lalu, pemerintah dan DPR menyepakati bahwa penghinaan presiden di depan umum akan menjadi delik umum. Itu artinya, jika ada perbuatan yang ditafsirkan aparat sebagai “penghinaan” maka tanpa laporan presiden atau siapa pun, anda akan diproses secara hukum. Ngeri!
Hal tersebut diatur dalam pasal 239 ayat (1) RKUHP yang menyebutkan bahwa setiap orang di muka umum menghina presiden dan wapres, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV, uang sebesar Rp500Juta.
Terlebih lagi jika anda melakukan “penghinaan” terhadap Presiden atau Wapres melalui sosial media. Tentunya dua UU tersebut siap menciduk anda.
Ada dua masalah dalam penerapan tentang Pasal Penghinaan Presiden yang menjadi delik umum. Pertama, dari sudut pandang konteks kebahasaan, tafsiran terhadap “penghinaan” yang memungkinkan untuk disalahgunakan. Sebut saja, “kartu kuning” untuk Jokowi, apakah itu penghinaan atau bukan?
Fenomena kartu kuning untuk Jokowi masih dalam perdebatan. Dua kutub berbeda muncul, satu menganggap itu sebagai bentuk kritik yang wajar, kedua menganggap bahwa kritik tersebut tidak beretika, dan cenderung tidak menghargai kepala negara.
Jika kita merujuk pada kutub kedua, hal ini memungkinkan kita menafsirkan itu sebagai penghinaan. Terciduklah Anda!
Contoh lain, jika mahasiswa melakukan demonstrasi kemudian disertai aksi simbolik seperti membakar foto Jokowi, membuat keranda yang bertuliskan Jokowi, mungkinkah semua itu tidak ditafsirkan sebagai penghinaan?
Jika semua itu termasuk dalam penghinaan, maka dengan jelas aparat dengan dengan segala bentuk kekuasaanya benar-benar menjadi alat pembungkam.
Persoalan kedua tetap pada ranah kebahasaan yiatu adanya upaya dikotomi terhadap bahasa rakyat dengan bahasa politisi. Ketika di dalam kehidupan sehari-hari kita, sesama teman bergaul kita biasa bercanda menggunakan kata yang terkesan kasar sebagai ragam akrab, maka konteks seperti itu tidak berterima untuk Presiden.
Ketimpangan pun terjadi, lagi-lagi rakyat yang harus beradaptasi terhadap bahasa politisi, bukan politisi yang beradaptasi dengan bahasa rakyat yang biasanya lebih “sarkas” dalam ranah tertentu. Presiden kemudian menjadi sebuah simbol keagungan.
Definisi tentang “penghinaan” benar diatur dalam UU dengan berbagai macam rincian. Akan tetapi, tentu banyak hal yang masih dalam ranah perdebatan dalam membatasi itu.
Sebut saja di DPR, saat membicarakan UU tersebut diperdebatkan soal “kartu kuning” dan Doa Tifatul Sembiring yang menyebut presiden “kurus”, memungkinkan hal tersebut disebut sebagai peghinaan. Akan tetapi, pada akhirnya UU tersebut disepakati sebagai delik umum.
Lebih mengerikan lagi jika dipadukan dengan UU IT. Sosial media yang sebenarnya merupakan ranah pribadi kemudian menjadi tempat pengawasan umum. Persis dalam cerita Orwell yang diawasi oleh kamera pengintai hingga di ruang yang paling privat.
Mari merujuk pada konteks peghinaan milik Sujiwo Tedjo, bahwa “menghina Tuhan itu nggak harus nginjak-nginjak Alquran, nggak harus nginjek-nginjek Injil, ngga harus main-maini nama nabinya, tetapi besok kita  khawatir nggak bisa makan, besok kita khawatir tidak punya jodoh, itu sudah menghina Tuhan.”
Jika ditarik ke konteks Yang Mulia Presiden, dengan mengatakan bahwa rakyat Indonesia semakin miskin, ekonomi Indonesia gagal, Indonesa krisis, penegakan hak asasi manusia, banyak sarjana menjadi pengangguran, berdasarkan pemikiran Tedjo, hal itu bisa saja dianggap sebagai penghinaan kepada Presiden. Karena itu semua merupakan tanggungjawab presiden, tapi, yah, begitulah.
Jadi, mengeluh karena anda pengangguran itu sama dengan menghina presiden yang (seolah-olah) gagal membuka lapangan pekerjaan. Padahal, seharusnya, pengadaan dan perbaikan semua itu dilakukan oleh negara. Presiden kepalanya.
Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *