POROSMAJU.COM, MAKASSAR- Bagi masyarakat Bugis-Makassar, sudah sebuah kelaziman bahwa pada masa sistem kerajaan masih berlangsung, bangsawan memiliki kedudukan yang istimewa. Darah bangsawan tentu hanya dimiliki oleh beberepa kalangan. Sistem kekeluargaan juga menentukan tinggi rendahnya kebangsawanan seseorang.
Mereka yang lahir dari kedua orang tua bergelar bangsawan, dianggap sebagai bangsawan murni, sedangkan mereka yang lahir dari salah satu orang tua mereka hanya rakyat biasa, maka tentu saja nilai kebangsawanannya berkurang.
Kita juga mengenal cerita-cerita tentang pewarisan kepemimpinan yang hanya diwariskan kepada putra mahkota. Putra mahkota dianggap sebagai orang yang berhak menjadi seorang pemimpin. Demikian halnya dengan bangsawan-bangsawan lain, dianggap memiliki kedudukan yang tinggi di dalam masyrakat.
Meski gelar bangsawan dianggap sebagai golongan yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sistem sosial di kalangan Bugis-Makassar ternyata memiliki keterbuakaan terhadap sistem sosial tersebut.
Meski dahulu Bugis-Makassar berada dalam sistem kerajaan, akan tetapi, sistem sosial yang dianut kemudian begitu terbuka. Ini seperti pernyataan Matulada dalam buku “Latoa”, bahwa sistem mobilitas sosial masyarakat Bugis-Makassar cukup luwes.
Karena itu, di lapisan penguasa, tidak hanya terdiri atas golongan yang berasal dari lapisan anakarung (bangsawan) saja. Lapisan penguasa yang biasa juga disebut elite, bisa diisi oleh seluruh lapisan masyarakat yang memiliki prestasi sosial.
Mattulada menyebutkan empat golongan yang menjadi lapisan elite sosial di masyarakat Bugis-Makassar. To Panrita, yaitu orang yang berasal, baik dari anakarung mau pun orang merdeka yang menjadi cendikiawan, pimpinan agama, dan orang-orang yang berilmu lainnya yang telah bekerja untuk kemaslahatan masyarakat.
To Sugi, yaitu orang-orang kaya, baik dari anakarung atau rakyat biasa yang karena keuletannya berusaha, dapat menjadi kaya raya dan terpandang serta mampu mengatur kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
To Warani ialah orang-orang pemberani yang tampil untuk membela kepentingan rakyat dalam melawan musuh. Mereka bisa berasal dari anakarung maupun dari rakyat biasa tetapi dipandang oleh masyarakat karena keberaniannya membela rakyat.
To Sulasena adalah orang-orang yang berkeahlian khusus, semacam teknokrat-teknokrat yang takkering daya karsanya untuk mencari perbaikan untuk masyarakat.
Karena itu, menurut Mattulada, sejak tahun 1906, sistem ata (semacam perbudakan) dihapuskan dalam sistem Bugis-Makassar. Berdasarkan pandangan tersebut, terdapat dua hal yang dianggap menarik dari sistem kekuasaan tersebut.
Pertama, adanya keterbukaan kepada siapa saja, asalkan memiliki ketekunan untuk mengejar ketertinggalan sosialnya. Jadi, seseorang bisa berusaha dan bekerja keras untuk bisa menjadi seseorang yang kaya.
Seseorang bisa belajar dengan giat agar menjadi seorang yang cendikia. Seseorang bisa juga menjadi seorang yang ahli terhadap suatu hal sehingga memiliki keahlian khusus. Seseorang pun mampu berada di level elite dengan berbagai cara meski bukan berasal dari anakarung atau kalangan bagsawan.
Kedua, bahwa setiap upaya untuk menjadi elite sosial di kalangan Bugis-Makassar berpatokan pada daya guna kepada masyarakat. Seseorang bisa menjadi bagian elite masyarakat ketika mampu berguna untuk kehidupan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai sosial seseorang terhadap masyarakat merupakan hal yang penting di masyarakat Bugis-Makassar. Ini berarti, sebuah kecerdasan, harta melimpah, kencendikiawanan, hingga darah bangsawan ketika mereka tidak memiliki manfaat kepada masyarakat, sebenarnya tidak bernilai. Masyarakat umum kembali menjadi tolok ukur untuk membentuk suatu sistem sosial.
Luwesnya Sistem 'Elite' Bugis-Makassar
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…