POROSMAJU.COM, Pro-kontra penggunaan seragam sudah menjadi pembicaraan yang berulang, tidak hanya di Indonesia . Baru-baru ini, sebuah sekolah dasar di distrik Ginza Tokyo memperkenalkan seragam baru murid mereka yang dibanderol seharga $730 atau setara Rp13 juta.
Maklum, seragam SD berupa jas biru yang sepadan dengan setelan celana dan rok, serta baju putih dan topi berwarna biru tua itu dirancang oleh Giorgio Armani.
Sejarahnya, penggunaan seragam yang pertama adalah pakaian tentara Kekaisaran Romawi dan peradaban-peradaban lainnya. Ini kemudian diikuti oleh organisasi para militer sampai pegawai negeri.
Di Indonesia, setelah kemerdekaannya dan Jepang angkat kaki dari tanar air, budaya berseragam sekolah ini masih terus diterapkan hingga sekarang.
Karena sudah menjadi kebiasaan, akhirnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1982 turunlah Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah yang berisi tentang penggunaan seragam sekolah bagi para siswa, tepatnya pada 17 Maret 1982.
Konon, aturan penggunaan seragam sekolah ini sesungguhnya juga dibuat untuk menutupi kesenjangan sosial antarsiswa.
Sejalan dengan itu, Linda Lumsden dan Gabriel Miller (2001) berpendapat, seragam tidak bisa menyelesaikan semua masalah kedisiplinan sekolah, tapi bisa menjadi salah satu faktor positif dalam disiplin dan keselamatan.
Selain itu, Lumden secara terperinci mengatakan, benefit dari aturan mengenakan seragam sekolah : (1) dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stres di keluarga (less stress on the family).
Melalui sebuah diskusi Forum Debat SMUKI di tahun 2009, menanggapi rencana pengahapusan seragam oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, Ari Susilo Handoko menyampaikan ketidaksepakatannya. Menurutnya, pendidikan sekolah dari SD hingga SMA bukanlah pendidikan militer.
Bagi sebuah angkatan perang, identitas memang amat dibutuhkan. Filosofinya untuk membedakan tentara dengan masyarakat sipil dan membedakan satu kesatuan dengan kesatuan lainnya. Di medan perang akan membedakan musuh dengan kawan.
Selain itu, dengan menghapus seragam, siswa, orang tua siswa, guru dan pengelola sekolah diharapkan membuka wawasan berpikir seluas-luasnya tentang pentingnya mengeliminasi pola berpikir formal yang selama ini telah menghambat kreativitas.
Baik siswa maupun guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir dan bakat-bakat alamiahnya juga diharapkan dapat lebih berpikir substantif (pendekatan isi).
Tahun 1921, pertama kali pemakaian seragam sailor (pelaut) di Jepang. Pada tahun yang sama, sekolah Kinjou gakuin di Aichi juga memutuskan menggunakan seragam sailor.
Ada pun anak laki-laki mereka berseragam seperti tentara Jepang dulu, lengkap dengan topinya yang disebut dengan `gakuran`. Pakaian sailor untuk siswi sebenarnya juga agak berkesan militer.
Saat duduk di bangku SMA, saya menyadari hal tersebut. Pemakaian seragam secara warna memang masuk akal (merah untuk SD, biru untuk SMP, dan abu-abu untuk SMA). Namun embel-embel seperti bentuk dan warna sepatu, penggunaan kaos kaki dan warna abu-abu tertentu menyulitkan.
Usaha penyeragaman dari sekolah dengan mengagung-agungkan kedisiplinan bukan jalan tengah. Siapa yang tahu bahwa hal demikian tidak mempengaruhi pola pikir siswa. Standar-standar tertentu kadang mengubah citra sekolah negeri menjadi sekolah militer.
Suatu hari ketika masih SMA, seorang guru menegur karena warna kaos kaki yang tidak standar. Kupikir caranya keterlaluan, sambil marah-marah, ia menyuruh saya membuka kaos kaki di muka umum dan menyerahkannya untuk disita.
Sejak hari itu saya bertekad untuk urakan selepas SMA. Yah, saya memaafkan tapi tidak melupakan (Kartini).
Konsep Seragam Sekolah Rasa Pendidikan Militer
Read Also
Oleh : Muh. Haidir hakim, S.P., M.Si POROSMAJU.COM…
Oleh : Rahmat Ariandi, S.Hut., M.Hut – Dosen…