OPINI.POROSMAJU.Com– Memahami kehidupan diri sendiri tentu tidak lepas dari cara kita mengontro dan membina diri sendiri, dalam tuntunanya Allah berfirman QS. Adz-dzariyat : 21 Allah bertanya kepada hambaNya “Dan juga didalam dirimu, tidakkah kamu perhatikan?”. Didalam ayat ini kita menemukan sebuah sindiran yang dialamatkan kepada manusia untuk memperhatikan apa yang ada didalam dirinya.
Di dalam ayat lain (QS. Al-mu’minun : 12-14) menjelaskan tentang proses penciptaan manusia mulai dari tanah – saripati – air mani – segumpal darah – segumpal daging – tulang belulang – dibungkus dengan daging kemudian ditiupkannya roh Tuhan maka jadilah ia makhluk yang paling sempurna (manusia). Proses penciptaan manusia disebutkan oleh Halim Sani dalam bukunya Manifesto Gerakan Intelektual Profetik sebagai perpaduan dua makna simbolis yakni lempeng busuk + Roh Tuhan = manusia. Simbol lempeng busuk dimaknai sebagai kerendahan stagnansi dan pasifitas mutlak sedangkan Roh Tuhan dimaknai sebagai gerak tanpa henti untuk mencapai kemuliaan dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bersatunya zat kotor (materi) dan zat yang suci (immateri) dalam satu wadah (rahim) maka terciptalah makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaanNya, sehingga kesempurnaan itulah yang perlu direflesikan kembali.
Manusia dikatakan makhluk paling sempurna di antara makhluk ciptaanNya sebab di dalam dirinya terdapat tiga sifat makhluk lainnya yakni sifat kebinatangan, sifat syaitan dan sifat malaikat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa binatang senantiasa bergerak mengikuti nalurinya (makan, minum, tidur, dll), syaitan dengan segala perbuatan tercela dan kecerdikannya dalam memperoleh informasi, dan malaikat hanya mampu melakukan kebaikan, tidak makan, minum dan tidak memiliki nafsu, sedangkan ketiganya kita temukan didalam diri manusia. Pun terdapat dua unsur yang tersusun didalam diri manusia; materi dan immateri.
Organ tubuh (fisik) adalah materi, untuk memenuhi kebutuhan secara biologis merupakan bagian dari materi, misalnya ketika tubuh merasa haus, lapar, ngantuk dsb maka naluri akan menggerakkan kita untuk memenuhi kebutuhan materi itu. Sedangkan unsur immateri ialah Aqliah dan Qolbiah.
Hidup tidak melulu tentang kebutuhan biologis; makan, minum, tidur serta memenuhi kebutuhan seksual, jika hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis lalu apa bedanya dengan “mahluk hidup yg senantiasa mengikut nalurinya?”. Pun tanpa kebutuhan biologis maka kebutuhan aqliah dan qolbiah akan terhambat.
Aqliah (akal) pun nutrisi melalui pengasahan nalar. Radikal dalam membaca, aktif dalam mengkaji, menganalisa dan mendistribusikannya melalui lisan maupun tulisan serta mengkhusyukkan diri dalam majelis-majelis ilmu yang dihadiri (baik online maupun offline) merupakan salah satu ikhtiar untuk mempertajam pisau intelektual, semakin banyak nutrisi yang diberikan maka semakin banyak pula ide, gagasan yang dihasilkan pun secara praktis akan semakin banyak metode penyelesaian yang ditemukan dalam menghadapi berbagai persoalan.
Qolbiah (hati) ibarat sebuah cermin yang selalu butuh dibersihkan agar ia mampu memantulkan cahaya-cahaya kebaikan. Bagian ini tidak boleh dimarjinalkan sehingga balances unsur dalam tubuh kita tetap terjaga.
Imam Al ghazali dalam buku Agus Mustofa Saleh Ritual, Saleh Sosial mengibaratkan manusia sebagai kerajaan, dimana hati adalah rajanya, akal adalah perdana menterinya dan organ tubuh adalah aparat pembantu yang seharusnya tunduk kepada sang raja. Tentunya raja adalah pemimpin dalam kerajaan tersebut. Namun, model kepemimpinan apa yang diimplementasikan oleh sang raja? Kepimpinan otoriter kah? ataukah kepemimpinan demokrasi? Apakah dalam pengambilan keputusan sepenuhnya dimonopoli oleh sang raja ataukah harus berdialog terlebih dahulu dengan perdana menteri dan para aparat pembantunya?
Sebagai seorang pemimpin (pemimpin bagi diri sendiri) maka perlu menerapkan asas demokrasi untuk menghindari terjadinya destabilisasi dengan upaya mengkompromikan kebutuhan, nilai dan kepentingan jangka panjang. Bersikap adillah dalam memenuhi kebutuhan dan menjalankan fungsi masing-masing unsur, agar tidak ada yang merasa termarginalkan, jangan mendzolimi diri sendiri dengan sengaja mematikan nalar berpikir dan mengotori hati demi kebutuhan satu unsur (materi).
Penulis
Mufidah Syamsuddin
Ketua Umum PK IMM Fak. Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN Alauddin Cabang Gowa