POROSMAJU.Com—Di tengah Wabah Pandemi Covid-19, kita masih saja dipertontonkan aksi kontradiktif oleh para pemangku kebijakan di tingkat pusat, salah satunya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merevisi Peraturan Menteri No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portinus Pelagicus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Ini tentu terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat indonesia.
Melihat Perjalanan Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di masa Menteri Susi Pudjiastuti yang menerbitkan Permen KP No.56/2016, itu didasari atas kekhawatiran semakin menurunnya benih lobster di alam, bahkan bisa hilang seperti benih sidat (glass eels). karena eksploitasi BL terus untuk diselundupkan ke negara lain seperti Singapura dan Vietnam.
Menanggapi hal ini, Bidang Buruh, Tani dan Nelayan PW Pemuda Muhammadiyah Jambi, Zulqarnain bahwa sebagai bahan pertimbangan, proses budidaya lobster diperlukan waktu antara enam hingga delapan bulan sampai dinyatakan siap untuk dijual. Sementara, jika menjual langsung BL, tidak perlu menunggu waktu yang lama dan mendapatkan rupiah hingga jutaan. Inilah yang dikhawatirkan Ibu Susi Pudjiastuti kala itu sehingga menerbitkan Permen tersebut.
“Dilain sisi kami sependapat dengan Susi Pudjiastuti, jika terus dibiarkan tanpa ada intervensi Pemerintah Indonesia, bukan tidak mungkin BL akan mengalami kepunahan seperti halnya ikan sidat yang lebih dulu hilang dikarenakan benih sidat (glass eels) sudah tidak ada. Kepunahan itu bisa terjadi, karena di masa lalu Pemerintah mengizinkan ekspor benih sidat yang salah satunya diperuntukkan bagi aktivitas budidaya,” kata Zulqarnain, Sabtu (11/7/2020).
Usulan untuk melegalkan aktivitas budidaya BL, dikatannya merupakan kebijakan yang tidak tepat. Mengingat, hingga saat ini BL masih belum berhasil dibudidayakan di Indonesia, disebabkan karena Indonesia masih mengandalkan bibit dari alam dan bukan hasil dari pengembangan balai budidaya.
“Teknologi budidaya lobster kita masih belum berkembang, dikarena sampai sekarang pemanfaatan teknologi reproduksi masih belum berjalan dengan baik. Selain itu, hingga saat ini Indonesia juga masih belum terbebas dari persoalan pakan dan penyakit pada komoditas budidaya yang belum juga berhasil dipecahkan,” ujarnya.
“Untuk itu, kami menilai, kebijakan untuk melarang BL untuk dijual dinilai sudah tepat. Tetapi, itu harus diikuti dengan manajemen pengelolaan yang tepat melalui pendekatan konservasi BL di kawasan tertentu yang diketahui banyak ditemukan benihnya. Dengan manajemen konservasi, maka penguatan perlindungan BL bisa dilakukan lebih baik lagi,” tambahnya.
Lanjut Zulqarnain, jika ingin budidaya lobster berkembang, KKP harus melakukan perubahan fundamental terhadap program budidaya tersebut. Di antaranya, tidak boleh lagi hanya sekedar menyediakan dan membagikan bibit secara gratis kepada kelompok, namun harus memberikan pendampingan secara intensif.
Tak hanya melakukan pendampingan, KKP juga perlu segera menetapkan sentra pengembangan budidaya lobster berdasarkan lokasi yang dekat dengan ketersediaan benih alam. Dan juga harus memberikan dukungan terhadap pengembangan riset dan teknologi budidaya sehingga menjadi jelas proses budidaya dari hulu ke hiir.
Untuk melaksanakan budidaya lobster dibutuhkan kesabaran dan ketekunan, sebab perlu 1-2 tahun untuk panen dan lobster sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.
“Di sisi lain, kami juga menyebut kalau keberadaan BL memang masih menjadi primadona di pasar gelap. Meskipun, BL dinyatakan terlarang untuk diperjualbelikan. Hal itu, mengakibatkan BL bisa dengan bebas keluar dari Indonesia dengan cara diselundupkan,” ungkapnya.
Akibat tingginya permintaan, sejumlah negara yang tidak memiliki komoditas lobster, secara terang-terangan melakukan transaksi jual beli. Salah satu negara tersebut, adalah Vietnam, yang beberapa tahun terakhir fokus mengembangkan lobster sebagai komoditas andalan untuk diperjualbelikan di pasar internasional.
Terus berlangsungnya transaksi BL ilegal ke luar negeri, bahwa itu terjadi karena negara seperti Vietnam terus mengembangkan komoditas tersebut untuk kebutuhan bisnis budidaya perikanan mereka. Agar itu terus berlangsung, maka Vietnam mencari BL dari negara seperti Indonesia yang diketahui memiliki sumber daya BL yang melimpah.
“Kami himbau kepada Pemerintah agar bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan yang tepat, karena hemat logika BL saja sudah harganya fantastis apalagi kalau Lobsternya sudah besar, maka dari itu alangkah baiknya kalau Pemerintah menyiapkan dengan baik proses budidaya Lobster tersebut hingga pendampingannya, agar masyarakat bisa menikmati hasil dari kekayaan lautan kita,” tandasnya.
Admin