Ini dijelaskan oleh Anggota BPH Migas, Hendri Achmad, di kantornya, Jakarta, Rabu, 7 Maret 2018.
Hendri mengungkapkan, di lapangan, pihaknya menemukan kesulitan atas premium ini baru terjadi di Riau dan Pekanbaru. Untuk saat ini, penyelidikan di wilayah lain masih belum selesai.
Temuan tersebut menyimpulkan bahwa kesulitan itu sebenarnya bukan disebabkan kelangkaan, melainkan karena ada sejumlah daerah yang mengurangi stok serta ada juga yang memilih menjual Pertalite daripada Premiun.
“Indikasi di lapangan ada dua situasi yang terjadi, pertama ada beberapa wilayah yang karena kekhawatiran tidak cukup sampai akhir tahun mereka berusaha mengurangi. Kedua, dari SPBU sendiri karena margin premium lebih kecil dari Pertalite atau Pertamax,” jelas Hendri.
Dia menambahkan, margin yang diperoleh dari penjualan Premium memang hanya Rp280 per liter. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan Pertalite yang mencapai Rp400 per liter.
Sementara itu di luar Jawa, Madura dan Bali, permintaan terhadap Pertalite sudah semakin banyak. Ini mengakibatkan penyalur tidak lagi menebus Premium dan menggantinya dengan Pertalite.
Jelas Hendri, temuan di Riau dan Pekanbaru mengungkap bahwa masyarakat bergejolak karena kesulitan menemukan Premium. Masyarakat semakin berang karena Pertalite dijual lebih mahal dibanding harga di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Hendry mengatakan perbedaan harga ini disebabkan penerapan pajak atas Penggunaan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) di Riau dan Pekanbaru lebih tinggi, yaitu sekitar 10 persen.
“Itu jadi lebih mahal. Nah ini kita sudah bicarakan dengan Pemerintah Provinsi Riau dan sudah sepakat untuk mengevaluasi besaran PBBKB yang akan diterapkan untuk produk nonsubsidi, termasuk pertalite,” imbuhnya.
“Indikasi di lapangan ada dua situasi yang terjadi, pertama ada beberapa wilayah yang karena kekhawatiran tidak cukup sampai akhir tahun mereka berusaha mengurangi. Kedua, dari SPBU sendiri karena margin premium lebih kecil dari Pertalite atau Pertamax,” jelas Hendri.
Dia menambahkan, margin yang diperoleh dari penjualan Premium memang hanya Rp280 per liter. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan Pertalite yang mencapai Rp400 per liter.
Sementara itu di luar Jawa, Madura dan Bali, permintaan terhadap Pertalite sudah semakin banyak. Ini mengakibatkan penyalur tidak lagi menebus Premium dan menggantinya dengan Pertalite.
Jelas Hendri, temuan di Riau dan Pekanbaru mengungkap bahwa masyarakat bergejolak karena kesulitan menemukan Premium. Masyarakat semakin berang karena Pertalite dijual lebih mahal dibanding harga di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Hendry mengatakan perbedaan harga ini disebabkan penerapan pajak atas Penggunaan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) di Riau dan Pekanbaru lebih tinggi, yaitu sekitar 10 persen.
“Itu jadi lebih mahal. Nah ini kita sudah bicarakan dengan Pemerintah Provinsi Riau dan sudah sepakat untuk mengevaluasi besaran PBBKB yang akan diterapkan untuk produk nonsubsidi, termasuk pertalite,” imbuhnya.
Hendri membeberkan, kuota penyaluran BBM bersubsidi (Premium) di luar Jawa, Madura dan Bali pada 2018 ini sudah ditetapkan 7,5 juta kiloliter. Angka itu turun dibandingkan kuota pada 2017 lalu sebesar 12,5 juta kiloliter.
Pengurangan kuota tersebut berdasarkan realisasi penyerapan BBM bersubsidi yang hanya mencapai 5 juta kiloliter. Kendati demikian kuota yang ditetapkan untuk 2018 masih lebih tinggi.