POROSMAJU.COM, Adakah sebuah tempat bagi seluruh perempuan akan dimuliakan, saling memuliakan, dan dipahami untuk dimuliakan?
Mungkin tidak begitu asing di telinga kita tentang ungkapan cara perempuan harus dimuliakan. Sama halnya ketika kita mendengar perempuan menjadi korban kekerasan.
Keduanya berjalan seperti satu paket. Satunya diperadakan karena ada yang satu. Satunya ada karena yang satunya marak.
Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama 2016. Hasilnya, terdapat 259.150 kasus. Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi.
Sementara pada tahun 2017, kasus kekerasan meningkat menjadi 348.446 ribu kasus yang didominasi KDRT dan pelecehan di dunia cyber.
Menyoal tentang kasus kekerasan terhadap perempuan, di Indonesia terdapat berbagai lembaga yang menangani kasus kekerasan sebagai upaya memuliakan kedudukan perempuan.
Di antaranya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak “Kasih” (LP2AK), dan LBH-P2I (Perlindungan Perempuan Indonesia).
Kedudukan perempuan juga dimuliakan dalam Islam. Salah satunya melalui sebuah H.R. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971, juga H.R. Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548. Disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan umatbya harus memuliakan ibunya tiga kali sebelum ayah.
Secara demokratis pun, negara turut mempertimbangkan keberadaan seorang perempuan dalam partai. Partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan pada Pasal 8 Ayat (2) Poin e yang mensyaratkan keterlibatan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Melihat masyarakat, negara, dan agama memuliakan perempuan, seolah tidak ada lagi celah bagi perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Lalu jalan apa lagi yang mesti diambil?
Di suatu tempat di Kenya terdapat sebuah desa kecil yang terletak jauh dari kota. Umoja namanya, seolah menjadi solusi bagi perempuan-perempuan untuk mendapatkan jaminan keamanan di negara tersebut.
Di tempat tersebut hanya berisikan kaum wanita saja tanpa ada pria satu pun. Desa kecil ini didirikan oleh seorang wanita bernama Rebecca Lolosoli pada tahun 1990 yang sangat menentang keras dengan sistem patriarkal.
Untuk itu, Rebecca menganggap bahwa harus ada tempat khusus yang berisikan wanita agar mereka bebas dari penindasan kaum laki-laki dan dapat hidup bebas, serta leluasa tanpa ada tuntutan atau paksaan.
Apakah iya, perempuan Indonesia harus ke desa Umoja atau membuat desa serupa Umoja untuk memeroleh jaminan kehidupan yang aman?
Selamat merayakan hari perempuan internasional.
#PressforProgress
Di Mana Tempat Ternyaman bagi Perempuan?
