POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung, salah satu pakar filsafat di Universitas Indonesia. Beliau dilaporkan ke polisi oleh Permadi Arya yang akrab disapa Abu Janda atas kasus yang saat ini sedang tren, Penistaan agama. Cie!
Masih hangat kita perbincangkan tentang kasus ‘puisi ibu konde’, kini muncul kasus serupa tentang ‘kitab suci adalah fiksi’. Sebelumnya beberapa tokoh publik juga mengalami hal yang sama. Sebut saja Ahok dan Joshua Suherman.
Dalam salah satu acara stasiun teve nasional, Rocky tampil secara garang dengan menyatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Pernyataan ini ia sampaikan beserta beberapa argumen pendukung.
Rocky awalnya ingin memulihkan makna kata ‘fiksi’ yang berbeda dengan ‘fiktif’. Karena menurutnya, kata fiksi ini telah mengalami peyorasi oleh para politisi.
Menurut Rocky, fiksi artinya mengaktifkan imajinasi. Fiksi berbeda dengan fiktif. Fiksi lawan katanya adalah realitas, bukan fakta. Fiksi itu baik dan fiktif itu buruk. Kira-kira begitu.
Berbeda dengan Rocky, KBBI edisi kelima mendefinisikan kata fiksi sebagai:
1. n Sas cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya)
2. n rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan: nama Menak Moncer adalah nama tokoh –, bukan tokoh sejarah
3. n pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran
Tapi, begitulah tugas KBBI, hanya mempersempit makna sebuah kata. Maka dari itu, kita sebaiknya tidak hanya terpaku terhadap teks.
Penting untuk diketahui tentang konteks dan makna semiotik-sosial bahasa. Seperti yang disampaikan Jager dan Maier dalam buku Critycal Discourse Analisis bahwa untuk bisa memahami sebuah teks, diperlukan ketajaman melihat unsur-unsur yang perlu dianalisis.
Jika ditinjau dari teori fiksinya Stanton, maka jelas bahwa kitab suci adalah fiksi karena mengandung ketiga unsur fiksi yaitu tokoh cerita, plot, dan setting. Ketiganya merupakan struktur faktual yang kita percayai dan membenamkan diri pada ilusi yang dibuatnya.
Permadi Arya sebagai pelapor menyatakan bahwa kitab suci adalah landasan umat dalam memilih sebuah keyakinan. Menurutnya, kitab suci tidak bisa disejajarkan dengan novel fiksi.
Ini berarti ia menggolongkan kitab suci ke dalam genre nonfiksi. Padahal kitab suci juga tidak dapat disandingkan dengan buku-buku nonfiksi. Kitab keagamaan ya kitab keagamaan, tidak bisa disandingkan dengan buku-buku biologi, ,arkeologi, kimia, kedokteran, dan buku pengetahuan lainnya.
Di zaman dahulu, kitab-kitab suci ditulis tanpa memakai ilmu sejarah yang mengharuskan adanya bukti yang telah diverifikasi kebenarannya lewat pelbagai pendekatan dan metode ilmiah serta dibahas dari banyak perspektif.
Kenapa begitu? agar para umat terdorong untuk mengeskplorasi, menyelidiki dan menjelaskan berbagai fenomena alam dan jagat raya secara objektif dan dapat diuji terus-menerus. Dapat diverifikasi lintas waktu dan lintas tempat.
Lewat semua aktivitas penyelidikan dan pengujian ini, ilmu pengetahuan akan bertumbuh dan berkembang, semakin tinggi dan semakin maju. Hasilnya, peradaban terus bergerak ke depan, maju tanpa pernah berhenti.
Di sinilah kita harus berterima kasih kepada ‘fiksi’.Bayangkanlah, betapa kering dan panas dunia ini jika kita tidak memiliki kapasitas untuk menciptakan berbagai jenis sastra dan media ekspresi-ekspresi kesenian lain yang menyajikan berbagai fiksi kreatif dan imajinatif yang mampu mengerakkan hati dan akal kita.
Imajinasi yang kreatif, yang tak kenal batas-batas, kata Albert Einstein, lebih penting dari pengetahuan formal sebab setiap pengetahuan terbatas pada segala hal yang kita sudah ketahui dan pahami, sedangkan imajinasi merangkul seluruh dunia dan segala hal yang akan ada untuk kita ketahui dan pahami.
Sangat jelas bahwa ini hanyalah perbadaan pendapat tentang kata fiksi. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Kecuali jika kasus ini memang sengaja dibesar-besarkan karena mengandung kepentingan politik. Wallahualam bissawab.
Yang buruk di negara ini adalah kita tak diberi ruang untuk berbeda pendapat. Kaum yang berkuasa kerap mengesampingkan pendapat dari minoritas.
Contohnya banyak kasus opini yang berujung penjara. Padahal, Derrida telah menegaskan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat final. Sesuatu yang saat ini dinyatakan benar, bisa saja dikemudian hari hal tersebut adalah salah atau muncul kebenaran yang baru.
Respons orang-orang dalam memandang sesuatu pastilah berbeda. Bisa saja ada orang yang beranggapan bahwa kisah nabi Ibrahim dalam Alquran itu hanya bersifat hayalan. Begitu juga kisah dalam Alkitab tentang banjir besar yang menengelamkan gunung yang konon terjadi pada masa Nuh. Pun pasti ada orang yang beranggapan sebaliknya.
Kitab suci adalah fiksi atau nonfiksi hanyalah bergantung bagaimana sudut pandang dan pemaknaan kita terhadap kata fiksi. Semua orang bebas berargumen karena negara kita adalah negara demokrasi. Menyampaikan kebebasan dalam mengeluarkan opini juga tidak diharamkan dalam kitab suci mana pun.
Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan penggalan puisi dari Gus Mus.
“Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya.”
Alhamdulillah, Gus Mus sampai saat ini belum dipolisikan (Muh Ridho).