POROSMAJU.COM, JAKARTA – Digitalisasi naskah kuno Bugis merupakan langkah strategis untuk melestarikan sekaligus memudahkan akses terhadap warisan budaya. Proses ini mengubah naskah yang rentan rusak menjadi format digital, sehingga lebih tahan lama dan mudah diakses oleh generasi mendatang.
“Peran generasi muda sangat penting dalam pelestarian ini melalui partisipasi aktif dalam digitalisasi, pendidikan, inovasi, dan advokasi. Dengan demikian, mereka dapat menjaga nilai budaya Bugis di tengah arus globalisasi, sekaligus membawa kekayaan budaya ini ke panggung dunia,” ujar Wakil Rektor II Unismuh Makassar, Prof Andi Syukri Syamsuri, saat menjadi pembicara dalam Seminar Internasional Naskah Nusantara, Rabu, 25 September 2024, di Aula PDS HB Jassin, Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta.
Prof Andis, sapaan akrabnya, membawakan makalah berjudul “Peranan Generasi Muda dalam Mengangkat dan Melestarikan Manuskrip Budaya Bugis ke Tahap Global (Nasional dan Internasional)”. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh DISPUSIP, Perpustakaan Jakarta, Institut Terjemahan & Buku Malaysia, serta Universitas Malaya ini, tema yang diusung adalah Mengantarbangsakan Manuskrip Karya Nusantara.
Menurut Andis, digitalisasi naskah kuno Bugis menawarkan sejumlah manfaat penting. Pertama, dalam aspek penyimpanan, digitalisasi membantu mencegah kerusakan fisik akibat faktor lingkungan dan mengurangi risiko kehilangan karena bencana atau pencurian. Kedua, digitalisasi meningkatkan aksesibilitas, memungkinkan siapa saja dengan perangkat digital dan internet untuk mengakses naskah-naskah tersebut secara mudah.
“Selain itu, naskah digital sangat berguna untuk penelitian di berbagai bidang seperti linguistik dan sejarah, serta sebagai bahan pendidikan dan daya tarik budaya dalam sektor pariwisata,” tambahnya.
Lebih lanjut, Wakil Rektor II Unismuh Makassar menekankan bahwa teknologi modern membuka peluang besar bagi generasi muda untuk menghubungkan naskah Bugis dengan dunia global melalui digitalisasi, media interaktif, dan kolaborasi kreatif.
Tantangan utama dalam digitalisasi ini adalah kondisi fisik naskah yang sudah banyak rusak, sehingga mempersulit proses digitalisasi. Diperlukan tenaga ahli di bidang konservasi, digitalisasi, dan linguistik, serta dukungan biaya yang besar untuk peralatan. Oleh karena itu, kolaborasi antara perpustakaan, arsip, museum, dan universitas sangat diperlukan untuk berbagi sumber daya.
Andis juga menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat terhadap naskah Bugis, seperti Lontara, yang masih rendah. “Upaya pelestarian ini memerlukan pendidikan dan pelatihan, pemanfaatan media sosial, serta kerjasama dengan komunitas dan lembaga kebudayaan,” jelasnya.
Selain Prof Andis, seminar internasional ini juga menghadirkan pembicara lainnya seperti Prof Emeritus Dr Muhammad Haji Salleh, Dr Firmansyah, M.Pd, dan Dr Aditia Gunawan Noor Amin Ahmad.