Porosmaju.com, Makassar – Pagi itu Balai Sidang Unismuh Makassar terasa seperti panggung besar yang baru selesai dirias. Lampu-lampu sorot memantul di permukaan merah karpet, sementara deretan bendera—merah-putih, hijau, dan biru berlogo kampus—bergoyang pelan tertiup mesin pendingin ruangan. Di sudut, samar terdengar suara langkah ratusan siswa kelas XII yang baru saja memasuki aula. Seragam putih-abu mereka mencolok di antara ornamen kayu hangat dan pola geometris islami yang menghiasi dinding. Seolah-olah warna itu—putih dan abu-abu—menjadi simbol hari itu: ruang kosong yang siap ditulisi cerita baru.
Di panggung, MC baru selesai melafalkan basmalah, mengundang seluruh hadirin duduk kembali. Suasana mereda, namun ketegangan kecil—campuran gugup dan penasaran—terasa menebal.
Dr. Muhammad Akhir berdiri tegak di podium, tubuhnya agak condong maju, seolah ingin menjangkau para peserta satu per satu. Tangannya sesekali bergerak menekankan poin, matanya menyapu barisan siswa yang belum sepenuhnya yakin apakah mereka sedang mengikuti pelatihan jurnalistik… atau sedang masuk ke dunia baru yang rumit.
“Tema kita adalah jurnalisme abu-abu,” katanya, dengan nada yang membuat sebagian siswa saling melirik. “Bukan karena jurnalis boleh abu-abu dalam menulis berita. Tapi karena kalian—para adik-adik berpakaian putih-abu—kita ajak menyalakan semangat kepahlawanan di era digital ini.”
Kalimat itu memantik tawa kecil di beberapa sudut aula. Namun dari cara Akhir melanjutkan penjelasan, jelas ia tidak sedang main-main. Ia mengungkap bahwa kegiatan ini telah disiapkan sebulan penuh—mulai dari kurasi peserta, penyusunan materi, hingga memastikan semua siswa bisa bermalam di Grand Makassar Hotel. Seratus siswa dari 50 sekolah hadir hari itu. Lima puluh dua laki-laki, empat puluh delapan perempuan. Semua mantan atau pengurus OSIS. Semua dianggap calon agen informasi.
“Kalau belum datang semua, berarti masih di jalan,” katanya sambil tersenyum, memancing gelombang tawa lain. Tetapi ketika ia menyampaikan bahwa para peserta nantinya menerima beasiswa jalur undangan menuju Unismuh Makassar, ruangan mendadak hening. Jeda enam detik itu terasa seperti jeda ketika wartawan menimbang apakah ia sedang mencium bau berita besar.
Ketika Prof. Andi Sukri Samsuri, Wakil Rektor I Unismuh, mengambil alih podium, suasana berubah. Jika Akhir adalah sosok yang memompa energi, Prof Andis, sapaan akrab Warek I Unismuh itu, hadir sebagai guru besar yang menancapkan fondasi. Nada suaranya lebih tenang, langkahnya mantap, dan kacamata minusnya memantulkan cahaya layar besar di belakangnya—layar yang sesekali menampilkan logo Unismuh berdampingan dengan peringkat perguruan tinggi dunia.
“Unismuh Makassar kini terakreditasi unggul,” ujar Sukri, nyaris tanpa jeda. “Ada 67 program studi, dan hampir separuhnya telah meraih akreditasi unggul.”
Beberapa siswa tampak mencatat. Sebagian lain menatap layar ketika Sukri mulai menyebutkan fakultas demi fakultas—kedokteran, psikologi baru, teknik, pertanian, hingga fast-track program S1-S2 yang hanya lima tahun.
Lalu ia berhenti sebentar, tersenyum, dan berkata: “Jangan lupa, ada observatorium di lantai 18. Benda langit bisa dilihat dari sana. Itu tempat kalian nanti buat video berita.”
Kali ini, bukan tawa yang terdengar. Tetapi ratusan desahan kagum yang tidak disembunyikan.
Prof Andis juga bicara tentang beasiswa 3,8 miliar rupiah yang disiapkan setiap tahun. “Tidak membayar uang kuliah sampai sarjana,” katanya. Siswa-siswa yang tadi duduk agak malas kini duduk lebih tegak.
Kemudian giliran Dr. Andi Tamsil, Wakil Ketua ICMI Orwil Sulsel, naik ke podium. Jubah hijau bermotifnya tampak mencolok di atas panggung. Ia berbicara dengan gaya khas pertemuan cendekiawan: tenang, tajam, penuh metafora sosial.
“Kenapa jurnalisme abu-abu?” tanyanya retorik. “Karena jurnalis itu tidak boleh abu-abu. Abu-abu itu warna kalian.”
Ruangan meledak oleh tawa kecil, namun Tamsil segera mengembalikan ketenangan.
Ia bercerita tentang dua kelompok manusia yang “sangat dibenci Allah”: orang pintar yang masa bodoh, dan orang bodoh yang merasa pintar. Siswa-siswa mendengarkan dengan lebih dalam, seolah pesan itu ditujukan langsung pada masa depan mereka.
Tamsil bicara tentang media sosial: “Ada orang berhasil karena medsos, ada orang tumbang karena medsos.” Ia menekankan bahwa penting bagi generasi muda untuk “bermedsos yang sehat”—tidak ikut menyebar hoaks, tidak latah berbagi rumor.
Dalam wawancara selepas acara, ia menambahkan: “Harapan kita adalah anak-anak ini mampu menggunakan media sosial secara positif. Bisa saja kelak mereka menjadi YouTuber, kreator konten, atau bahkan jurnalis profesional.
Ia juga menyarankan agar kegiatan seperti ini direplikasi ke daerah lain—Parepare, Palopo, bahkan luar Sulawesi Selatan.
Bau karpet Balai Sidang, riuh tepuk tangan, dan cahaya biru panggung menyertai sesi foto bersama yang menandai berakhirnya prosesi pembukaan.
















