Porosmaju.com, Makassar — Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar berkomitmen menyiapkan penguatan layanan pendidikan inklusif melalui audit aksesibilitas fasilitas kampus, pembenahan layanan digital, serta penguatan budaya kampus yang lebih ramah disabilitas. Dorongan agar agenda itu dijalankan secara terukur disampaikan Pakar Sosiologi Anak Berkebutuhan Khusus Unismuh, Dr Fatimah Azis, M.Pd, dalam rangka peringatan Hari Disabilitas Internasional 2025.
Saat dikonfirmasi pada Rabu, 3 Desember 2025, Fatimah menyebut peringatan Hari Disabilitas menjadi momentum evaluasi kebijakan dan layanan yang selama ini berjalan.
“Kampus wajib menyediakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan aksesibel agar semua mahasiswa dapat belajar tanpa hambatan,” kata Fatimah.
Menurut dia, perguruan tinggi memikul tanggung jawab moral sekaligus kewajiban memastikan hak pendidikan terpenuhi bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Ia menegaskan, penerimaan mahasiswa difabel harus disertai kesiapan layanan, bukan sekadar membuka akses masuk. “Prinsipnya jelas, education for all dan no discrimination,” ujarnya.
Fatimah menekankan bahwa akomodasi layak tidak berarti menurunkan standar akademik. Penyesuaian dilakukan pada metode penyampaian, media, dan fasilitas pembelajaran agar lebih setara, sedangkan capaian akademik tetap dinilai dengan standar yang sama.
Ia memberi contoh akomodasi yang sering dibutuhkan, seperti tambahan waktu ujian, format ujian alternatif, atau dukungan materi ajar dalam format yang aksesibel. Dengan begitu, mahasiswa disabilitas tidak “diistimewakan”, melainkan diberi perangkat agar dapat menunjukkan kemampuan secara adil.
Tiga Hambatan Utama
Dalam kajiannya, Fatimah memetakan tiga hambatan yang masih sering dialami mahasiswa disabilitas di perguruan tinggi.
Pertama, hambatan fisik, yang mencakup akses gedung yang belum sepenuhnya ramah kursi roda, keterbatasan jalur landai, toilet aksesibel, jalur pemandu, hingga penanda ruang yang mudah dikenali.
Kedua, hambatan digital, yakni aksesibilitas situs web kampus dan sistem pembelajaran daring yang belum sepenuhnya kompatibel dengan ragam kebutuhan disabilitas.
Ketiga, hambatan budaya, berupa stigma dan rendahnya pemahaman sivitas akademika mengenai isu disabilitas. “Masih ada sikap diskriminatif di lingkungan kampus, sehingga diperlukan pelatihan rutin bagi dosen dan staf,” ujar Fatimah.
Fatimah mendorong Unismuh menyiapkan agenda yang dapat dikerjakan dalam enam hingga dua belas bulan. Pertama, membentuk task force inklusivitas dan melakukan audit aksesibilitas untuk memetakan hambatan dan prioritas pembenahan.
Kedua, menyelenggarakan pelatihan wajib bagi dosen dan staf, sekaligus memulai renovasi fasilitas prioritas seperti toilet aksesibel, jalur landai, dan jalur pemandu.
Ketiga, membangun pusat layanan disabilitas yang menyediakan pendamping, konselor terlatih, serta sistem pendaftaran kebutuhan khusus mahasiswa. Ia menekankan pentingnya prosedur asesmen individu agar dukungan yang diberikan terstruktur, tidak bergantung pada belas kasihan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Fatimah juga menggarisbawahi perlunya melibatkan mahasiswa disabilitas dalam pengambilan keputusan, karena kebijakan yang baik harus lahir dari pengalaman langsung. “Kampus harus siap dari segi fasilitas dan layanan, bukan hanya menerima mahasiswa difabel tetapi memberi dukungan penuh,” katanya.
Komitmen Unismuh
Sementara itu, Pengelola Pendidikan Inklusi
Pusat Pengembangan Pendidikan & Pembelajaran Digital Futuristik (P4-DF), Sudarsono, M.Pd, menegaskan penguatan layanan inklusif menjadi komitmen institusi yang terus diperbarui. Menurut Sudarsono, kampus memandang layanan bagi mahasiswa disabilitas sebagai tanggung jawab perguruan tinggi yang harus ditopang kebijakan, prosedur, dan dukungan lintas unit.
Sudarsono menjelaskan, penguatan layanan dilakukan melalui dua jalur utama: penyiapan perangkat keras berupa aksesibilitas fasilitas kampus, serta perangkat lunak berupa layanan pembelajaran yang adaptif—termasuk dukungan pada sistem pembelajaran digital. “Layanan inklusif harus hadir sejak proses penerimaan mahasiswa, perkuliahan, sampai evaluasi pembelajaran,” ujarnya.
Ia menambahkan, Unismuh juga menyiapkan rujukan kerja agar layanan inklusif tidak berjalan sporadis. Di antaranya melalui pedoman layanan dan penguatan koordinasi lintas unit—akademik, kemahasiswaan, sarana-prasarana, dan teknologi informasi—agar kebutuhan mahasiswa dapat dipetakan lebih dini serta dipenuhi melalui skema akomodasi yang jelas.
“Alhamdulillah Unismuh telah membentuk memiliki unit Layanan disabilitas di bawah koordinasi P4DF. Kami juga telah menyusun panduan layanan disabilitas yang telah disosialisasikan kepada segenap sivitas akademika,” tukas Dosen Pendidikan Sosiologi Unismuh itu.
Bagi Sudarsono, penguatan layanan disabilitas harus menjadi kerja berkelanjutan, bukan agenda musiman. Ia berharap momentum Hari Disabilitas Internasional 2025 mendorong percepatan pembenahan akses fisik, peningkatan akses digital, dan konsolidasi budaya kampus yang lebih menghargai keragaman kemampuan.
Di akhir, Sudarsono menekankan bahwa upaya tersebut pada akhirnya bukan hanya “membantu” kelompok tertentu, melainkan membangun kampus yang lebih manusiawi bagi semua. Integrasi prinsip universal design dalam pembelajaran, menurutnya, akan membuat layanan menjadi lebih mudah diakses bukan hanya oleh mahasiswa disabilitas, melainkan oleh seluruh mahasiswa dengan kebutuhan belajar yang beragam.














