POROSMAJU, MAKASSAR-Isu ruang publik merupakan isu yang berhubungan kota. Ruang publik yang baik menjadi salah satu tolok ukur baiknya suatu kota. Ruang-ruang publik tersebut seperti, pantai, taman, lapangan, hingga jalanan. Hanya saja, persoalan ruang publik ini sekakan-akan bukan milik publik lagi.
Hal ini disampaikan Saut Situmorang dan Aslan Abidin dalam acara Talk Show, yang diadakan oleh UKM Seni UNM, di benteng Fort Roterdam, Selasa, 28 November 2017.
Bagi Saut, ruang publik saat ini tercemari secara visual. Banyaknya spanduk yang tersebar di ruang publik, termasuk di pohon-pohon merupakan bentuk dari pencemaran visual itu.
“Satu, dia rusak visual dan membuat polusi kota. Dua, dia merusak pohon,” ujar Saut terhadap spanduk-spanduk yang ada di ruang publik.
Lebih jauh, Saut membandingkan dirinya saat berada di Selandia Baru. Kenangnya, di sana, ruang untuk kampanye itu sangatlah kecil. Karena ruang publik bukanlah hanya ruang milik calon atau milik parpol, sehingga mereka tidak akan mencemari ruang publik.
“Kalau ada yang berani, memasang foto dia (di ruang publik) karena dia mau jadi calon, apalagi di pohon kayu, itu orang kena sanksi dan pasti tidak akan dipilih,” ujarnya.
Hal ini sangat bertolak belakang di Indonesia. Alat kampanye ada di mana-mana. Apalagi jika itu dipasangnya di tugu untuk hiasan kota yang notabene milik publik. Menurut Saut ini merupakan kekeliruan.
“Saya lihat di tugu yang dibangun untuk hiasi kota itu dipasangi (spanduk kampanye), itu salah itu, sangat salah. Visual kota dirusaknya, estetika visual dirusaknya, itu polusi visual.”
Menurut Saut, kota itu harus cantik bukan karena bangunannya, tetapi visual kotanya. Seni, bagi Saut, bukan hanya puisi, novel, lukisan, dan sebagainya, tetapi juga visual kota atau visual ruang kota. Itu semua adalah seni.
Sedangkan bagi Aslan, spanduk-spanduk yang di ruang publik bukan hanya polusi visual, tetapi nantinya akan menjadi sampah yang sesungguhnya ketika spanduk tersebut tercabut dan tidak ada lagi yang mengurusinya.
Aslan menilai bahwa masalah sekarang ini terjadi karena adanya perubahan peradaban. Dimana kekuasaan terkadang hanya mementingkan diri sendiri.
“Secara politik, kita berada dalam peradaban parpol. Yang berkuasa itu parpol. Siapa yang bersama parpol, tentu saja adalah pengusaha.”
Kebijakan yang ada kemudian hanya berguna untuk kalangan atas dan tidak berguna untuk rakyat kecil. Kebutuhan rakyat kecil adalah hal sederhana saja, seperti, selokan yang bersih, bebas nyamuk dan tikus.
Aslan menilai bahwa kalangan muda perlu memberi sudut pandang yang lain. Pemuda harus menjadi pembeda sebagai kalangan intelektual.
Aslan menutup pembicaraannya dengan pesan yang sederhana, “Buang sampah pada tempatnya dan parkir motor lebih dipinggir,” ujarnya sambil sedikit tersenyum.