POROSMAJU, MAKASSAR– Di setiap pilkada, jalur independen selalu menjadi hal yang menarik untuk diselisik. Jalur independen merupakan ruang bagi warga negara yang ingin terlibat dalam pencalonan kepala daerah tanpa usungan partai politik. Jalur independen/perseorangan di dalam pilkada diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016.
UU No 10 Tahun 2016 mengatur bahwa 6,5%-10% merupakan jumlah batas dukungan dari keseluruhan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) penduduk suatu daerah. Untuk provinsi, sebagaimana pasal 41 memberikan rincian batas persentase provinsi dengan jumlah penduduk dengan DPT sampai 1 juta jiwa, harus didukung minimal 10%.
Sementara itu, untuk provinsi yang memiliki daftar DPT 2 juta-6 juta jiwa, harus didukung paling sedikit 8,5%. Untuk provinsi dengan DPT di atas 6 juta-12 juta jiwa, calon independen harus didukung minimal 7,5% dari total DPT.
Terakhir, untuk provinsi dengan DPT di atas 12 juta jiwa, harus didukung minimal 6,5% dari total DPT.
Daftar Pemilih Tetap (DPT) sementara Sulawesi Selatan, sebagaimana yang dilasir KPU pada Juli 2017, sebanyak 6.871.154 atau bertambah 591.804 pemilih dari data pilgub 2013.
Mengacu pada data tersebut, calon gubernur independen yang ingin maju dalam pemilihan pilgub Sulsel, harus mengumpulkan dukungan sebanyak 7.5% atau sekitar 505,336 jiwa.
Untuk pilgub Sulsel, pasangan Ichsan Yasin Limpo-Andi Muzakkar (IYL-Cakka) merupakan calon independen yang sudah resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan.
Hasil Pleno KPU Sulsel menyatakan, dari satu juta berkas yang disetor oleh IYL-Cakka, telah diverifikasi sebanyak 748.484 berkas dan yang telah lolos verifikasi sebanyak 686.720 berkas. Jumlah ini memastikan IYL-Cakka maju sebagai calon independen.
Terpaksa Independen?
Hal menarik untuk dicermati dari majunya IYL-Cakka sebagai calon independen adalah konstalasi politik pilkada Sulsel yang penuh ketidakpastian. Kuatnya pengaruh elite pusat parpol dalam pengambilan keputusan dukungan terkadang membuat pimpinan daerah tak berdaya.
Ketakberdayaan daerah atas putusan pusat dapat dilihat pada PAN. Dalam Partai yang dipimpin oleh Zulkifli Hasan ini sempat terjadi perbedaan dukungan antara Dewan Pimpinan Pusat dan Dewan Pimpinan Wilayah Sulsel.
Seperti yang diketahui sebelumnya, bahwa PAN merupakan partai yang siap mengusung IYL-Cakka. Akan tetapi, belakangan muncul rekomendasi pengalihan dukungan. Hal ini disampaikan DPP PAN yang diwakili oleh Ketua Bidang Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan (POK), Yandri Susanto. Ia menyampaikan, partainya mengalihkan dukungan ke Nurdin Abdullah (NA).
Sikap berbeda dengan DPP pernah ditunjukkan oleh DPW dan DPD PAN Sulsel. Melalui rapat koordinasi yang dipimpin oleh Ketua DPW PAN Sulsel, Ashabul Kahfi, mereka memutuskan tetap mendukung IYL-Cakka.Meski pada akhirnya, DPW dan DPD Sulsel menyatakan solid mendukung Nurdin Abdullah.
Masalah ini jelas menunjukkan bahwa pimpinan daerah sering berbeda pendapat dengan pimpinan pusat. Hal ini kemudian menjadi alasan yang jelas untuk IYL-Cakka maju melalui jalur independen.
Karena itu, bisa dibilang, keputusan IYL-Cakka merupakan cara memperlihatkan “eksistensi” dan “taji” elite daerah terhadap “paksaan” elite partai di pusat.
Masalah lain, seperti diketahui, IYL-Cakka selain PAN, semula IYL-Cakka juga “didukung” oleh PPP. Hanya saja, dualisme kepengurusan DPP PPP bisa menjadi bumerang bagi IYL-Cakka. Belum adanya keputusan dari Mahkamah Agung (MA) tentang kepengurusan PPP sangat berpengaruh terhadap konstalasi dukungan parpol terhadap cagub dan cawagub Sulsel.
Sementara itu, di sisi lain, batas waktu pendaftaran untuk jalur perseorangan dibatasi oleh KPU. Batasan waktu calon independen lebih singkat daripada pendaftaran lewat jalur parpol.
Hal ini tentunya membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. IYL-Cakka melihat adanya peluang pencekalan dirinya jika menunggu pendaftaran melalui partai politik. Bisa saja, “kubu PPP-sebelah” menarik dukungan partainya dari IYL-Cakka, jika, kubunya yang diputuskan legal oleh MA.
Dua hal yang dapat disimpulkan terhadap keputusan independen IYL-Cakka adalah kekhawatiran pencekalan dirinya maju di pilgub jika menunggu kepastian dari partai politik, hal kedua adalah sikap “menantang” sebagai elit “daerah” terhadap kuatnya interpensi pimpinan pusat parpol terhadap pimpinan parpol di daerah.
Hal lain yang juga menarik untuk dicermati dengan merebaknya calon independen adalah pengaruh elit pusat parpol terhadap keputusan parpol di daerah. Rekomendasi pimpinan partai politik tetap menjadi titah bagi parpol di daerah.
Hal ini tentunya juga akan menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh daerah yang memilih pengaruh serta basis massa. Terkadang keputusan pusat tidak sesuai sejalan dengan arah dukungan terhadap suatu tokoh di daerah, maka tak heran jika fenomena calon independen merupakan salah satu pilihan terbaik.
Sisi Lain Jalur Independen
UU No.10 tahun 2016 tentang pemilihan umum masih menuai polemik. Bahkan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokratis (Perludem) menilai, terhadap Undang-Undang tersebut masih dibutuhkan.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, dalam diskusi di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI beberapa lalu, menilai persyaratan besaran jumlah dukungan calon independen terlalu memberatkan.
“Kami usulkan pembuat undang-undang membuat persyaratan calon perseorangan lebih moderat,” ujar Titi Anggraini sebagaimana dilansir dalam Kompas.com, Kamis 30 November 2017.
Titi menyebut, angka minimal dukungan yang moderat yaitu tiga persen dari jumlah penduduk. Regulasi ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Besarnya jumlah ambang batas dukungan ini juga menunjukkan seolah-olah ada ketakutan terhadap banyaknya tokoh-tokoh di daerah yang mengambil jalur independen.
Batasan jumlah ini juga seolah memaksa tokoh-tokoh daerah untuk maju melalui jalur partai politik. Di dalam demokrasi yang sehat, jalur independen maupun jalur partai politik seharusnya tetap terbuka dengan persyaratan yang lebih “moderat.”
Demikian juga dalam regulasi yang ditetapkan oleh KPU, perlu ada regulasi yang lebih fleksibel. Bagi calon yang memilih jalur independen, mestinya administrasi, prosedur, dan mekanisme pengumpulan dukungan lebih disederhanakan.
Persoalan tenggat waktu pendaftaran pun demikian. Sejauh ini, regulasi KPU masih memberatkan. Dukungan terhadap jalur independen harus lebih dahulu didaftarkan daripada partai politik. Katanya, ini untuk verifikasi berkas dukungan.
Aturan ini bisa menjadi celah politik. Calon yang di awal memiliki partai politik, kemudian ditinggalkan oleh parpol sementara calon tersebut belum mendaftar melalui jalur independen, dapat dipastikan tidak dapat mengikuti pilkada.
Tapi, demikianlah. Seperti yang kita ketahui, politik memang begitu dinamis dan selalu penuh gejolak.
Jalur Independen dan Sikut-Menyikutnya
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…