POROSMAJU- Gunung Agung di Bali seminggu terakhir ini semakin mengkhawatirkan. Potensi letusan lanjutan yang dahsyat masih dalam skala besar. Sesuai lansiran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) via Kantor Berita Antara, Sabtu, 2 Desember 2017 lalu, gempa tremor pun terus terjadi.
Atas ini, beragam reaksi hadir di masyarakat. Di media sosial, bertebaran foto-foto yang konon diambil saat Gunung Agung di Karangasem, Bali, meletus. Swafoto hingga foto yang dipercantik dengan editan berseliweran. Foto-foto tersebut mengundang puji dan caci.
Tidak hanya itu, banyak juga komentar yang bikin dahi mengernyit perihal letusan gunung ini. Fenomena alam ini disebut-sebut sebagai hukuman Yang Maha Kuasa. Sementara itu, tekhusus sesepuh masyarakat Bali, di balik khawatirnya, juga memandang ini sebagai rejeki.
Memang demikian, endapan pasir letusan gunung nyatanya dimanfaatkan oleh warga Karangasem untuk lahan rejekinya. Pasir tersebut akan dijual nantinya. Selain itu, kandungan gunung yang bererupsi juga akan menyuburkan tanah daerah sekitar.
Akan tetapi, amat disayangkan apabila terus-terusan ada pikiran, terlebih pernyataan yang menyebut fenomena alam seperti letusan gunung ini dan fenomena alam lainnya adalah akibat dosa manusia. Meski harus diakui, banyak kerusakan alam akibat ulah manusia.
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam fatwanya yang dibukukan dalam “Fikih Kebencanaan”, terbit tahun 2015, mengungkapkan, hal yang tidak kalah penting dari kebencanaan adalah persepsi masyarakat terkait bencana.
Dalam buku tersebut, MTT PP Muhammadiyah menegaskan, tidaklah elok jika menyebut sebuah fenomena alam (bencana) terjadi akibat keamksiatan dan rusaknya akidah penduduk korban bencana.
“Dengan cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban bencana karena mereka harus menaggung derita ganda. Mereka kehilangan segalanya, mulai dari harta, nyawa sanak-famili, bahkan kebahagiaan hidup, sekaligus menjadi kutukan pihak-pihak lain,” tulis buku yang merupakan putusan Munas Tarjih PP Muhammadiyah XXIX tahun 2015 di Yogyakarta.
Buku tersebut juga menyebutkan kekeliruan cara pandang masyarakat terhadap bencana seperti ini juga mengakibatkan tindak irasional. Masyarakat akhirnya melakukan ritual-ritual mistik yang secara ilmiah justru tidak memiliki keterkaitan dengan bencana.
“Padahal, banyak kejadian alam adalah murni disebabkan oleh perubahan tata alam. Misalnya, gempa disebabkan oleh pergeseran lempeng bumi, gunung berapi yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan peut bumi, dan seterusnya. Peristiwa tersebut hampir tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan perilaku dan sikap manusia terhadapa agama dan alam sekitarnya,” ungkap MTT PP Muhammadiyah.
Meski demikian, tidak dimungkiri, ada peristiwa alam yang terjadi karena ulah ekploitasi berlebihan dan tidak bertanggung jawab manusia terhadap alam. Akan tetapi, atas kejadian yang memilukan tersebut, terlebih bagi korban, hendaknya kita tidak lagi menyebutnya sebagai hukuman Tuhan. Karena ini bagai sudah jatuh, diinjak pula.
Maka, mari bersikap bijak, mengubah persepsi terhadap bencana!
Gunung Meletus, Bencana yang Lebih Memilukan adalah Anggapan "Bencana Itu Hukuman!"
Admin3 min read