POROSMAJU.COM, MAKASSAR — Sejarawan Universitas Hasanuddin, Prof. Rasyid Asba, menyebut peristiwa pembantaian Belanda terhadap masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) yang menewaskan 40.000 jiwa korban sebagai peristiwa besar yang heroik.
Saat itu, ungkapnya, terjadi ekspansi atau ekspedisi Militer Belanda di Sulsel. Ini dilakukan Belanda untuk mengembalikan jajahannya di Hindia Belanda. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka muncul kekuatan-kekuatan lokal seperti perlawanan yang akhirnya menewaskan 40 ribu korban jiwa ini.
Prof Rasyid mengungkapkan, peristiwa ini sangat memperhatinkan. Setelah Indonesia merdeka, muncul kekuatan-kekuatan lokal seperti organisasi bersenjata yang dimobilisasi oleh rakyat. Atas ini, Belanda harus membangun suatu strategi untuk menjinakkan para pejuang kemerdekaan itu.
Salah satu strateginya, semua rakyat yang pro kepada pemerintahan republik itulah yang dibantai. Jadi, menurut Prof Rasyid, korban 40 ribu jiwa adalah suatu makna perjuangan nasionalisme yang mengambarkan betapa kejamnya Belanda saat itu.
Sebenarnya, jelas Prof. Rasyid, korban awalnnya mungkin sekitar 4.000 atau sampai 6.000 jiwa. Orang yang memopularkan korban 40 ribu jiwa itu adalah Kahar Muzakkar. Kisah Prof. Asba, saat itu ada kereta api dari Jawa ke Jakarta yang mengalami kecelakaan. Soekarno dan tokoh lainnya di Jakarta, gempar atas peristiwa kecelakaan yang menewaskan 4. 000 korbar itu.
Atas gemparnya Soekarno, Kahar Muzakkar berang. “Kenapa hanya sekian jiwa korban diribut-ributkan, sementara di Sulsel 40. 000 korban jiwa tapi tidak diribut-ributkan,” ungkap Kahar Muzakkar ditirukan oleh Prof. Rasyid.
Jadi, lanjut Prof. Rasyid, saat itu Kahar Muzakkar sebenarnya hanya menjadikan korban 40 ribu jiwa sekadar semacam “slogan politik” untuk menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki naluri heroik sangat tinggi.
“Korban 40 ribu jiwa hanya makna simbolik karena Kahar Muzakkar yang ungkapkan saat itu, sehingga terkenallah menjadi 40 ribu. Tapi sebenarnya, ini ketika mau dikaji ini melakukan penelitian lebih mendalam, yang 40.000 jiwa itu lebih bagus, ketika kita pekirakan yang meninggal yang di berbagai tempat, misalnya di Daya, di Borong. dan berbagai tempat pembantaian,” ungkap Prof. Rasyid.
Korban 40 Ribu Jiwa Pelanggaran HAM Berat
Prof. Rasyid melanjutkan, kalau semua jumlah korban dari berbagai tempat dikumpulkan, korban bisa diperkirakan mencapai lebih 40.000.
“Jadi semacam hitungan kasarnya seperti itu, misalnya pembantaian di Daya sekitar 400 jiwa dengan dikali 10 tempat pembantaian biasa jadi lebih dari 40.000. Namun bukan makna kuantitas tapi makna kualitas perjuangan masyarakat yang dilihat dengan daerah-daerah lain. Bahwa tidak ada daerah di Indonesia sesadis di Sulsel dan paling banyak terbantai itu karena mempertahankan kemerdekaan,” ungkapnya.
Ungkap Prof. Rasyid, korban-korban tersebut ditangkap, diikat, lalu dipotong-potong, dan dibuang ke air.
“Jadi sebenarnya, bisa dibilang, yang 40. 000 jiwa itu adalah memang fakta dan hanya karena sekarang itu belum ada orang peneliti-peneliti yang menghitung. Ketika dihitung dengan jumlah penduduk setelah ada pembantain memang itu lebih 40.000. Hanya kita belum ada fakta seotentik bahwa sekian yang meninggal dan kalau dihitung jumlah penduduk Sulsel setelah pembantaian dan dihitung bahkan lebih dari 40.000,” ungkapnya.
Jadi, menurut Prof. Rasyid, jumlah masyarakat Sulsel sebelum pembantaian dan sesudah pembantaian memang lebih 40.000 yang hilang. Hanya saja, secara tuntas bahwa sekian orang yang hilang karena dibantai dan sekian orang hilang karena sakit, belum dapat dipastikan.
“Kalau dilihat dari jumlah penduduk sebelum dan sesudah dibantai bahkan lebih dari 40.000 masyarakat Sulsel hilang. Hanya kita tidak bisa paatikan bahwa hilang karena dibantai dan atau hilang karena imigrasi ke daerah lain. Mungkin karena sekian orang meninggal, sekian orang sakit, dan sekian orang dibantai. Jadi hitungannya itu mulai dari imigrasi berapa, yang dibantai berapa, yang meninggal berapa. Bisa jadi sampai 60.000, hanya tidak ada fakta secara otentik bahwa pas 40.000 jiwa,” ungkapnya.
Menyoal Kahar Muzakkar yang awalnya menyebutkan 40.000 sebagai angka simbolis, Prof. Rasyid mengungkapkan hal tersebut tidak ada salahnya. Hal ini karena Kahar hanya ingin menggambarkan heroisme.
Prof. Rasyid menyebutkan, kasus pembantaian 40 ribu jiwa korban adalah pelanggaran HAM terbesar di dunia dari orde lama ke orde baru. Seharusnya, Belanda meminta maaf kepada Indonesia, khususnya Sulsel.
Ia menuntut perlakuan Belanda kepada korban pembantaian di Jawa juga dilakukan di Sulsel. Belanda menyantuni keluarga korban dan sudah meminta maaf, mengakui kesalahannya.
“Seharusnya di Sulsel juga seperti itu. Di Sulsel ini, mungkin terlalu banyaknya sehingga Pemerintah Belanda susah mengakui itu,” ungkap Prof. Rasyid.
Prof. Rasyid, juga menegaskan kembali spirit reformasi awal, yaitu penegakan HAM. Ia berharap, peristiwa pembantaian 40 ribu jiwa korban sebagai suatu fakta sejarah dapat menghasilkan kebijakan politis pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda.
“Setelah Pemerintah Belanda meminta maaf dan dimaafkan oleh Pemerintah Indonesia, keduanya ini menjalin hubungan harmoni Belanda dengan Indonesia” ungkapnya.
Dahulu, Perlawanan 40 Ribu Jiwa, Bagaimana Kini?
Sekali lagi, Prof. Rasyid menegaskan pembanataian 40 ribu jiwa korban adalah peristiwa yang sangat heroik. Sayangnya, kini, heroisme tersebut sudah pudar. Spirit perlawanan yang berdasar nasionalisme tiada lagi. Kini, peristiwa itu hanay diperingati dengan seremoni saja.
“Memang bisa diperingati setiap tahun tapi yang diperingati hanya serimonialnya saja. Padahal, yang bisa dilakukan pemerintah, harus memberikan santunan-santunan kepada keluarga korban. Sekarang masih banyak para tokoh veteran yang miskin. Mereka yang mengorbankan jiwa raganya, tapi tidak mendapat penghargaan,” ungkapnya
Guru Besar Ilmu Sejarah Unhas ini berharap peringatan peristiwa korban 40 ribu jiwa dapat membuat Sulsel selalu terdepan dan pelopor untuk membangun heroisme nasionalisme. para Tokoh-tokoh pejuang Sulsel juga harus menjadi contoh untuk membangun demokrasi.
Selain itu, Prof. Rasyid juga berpendapat, Pemerintah Prov (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) harus menulis sejarah peristiwa ini. Pemprov harus menagmbil tanggung jawab penulisan sejarah sesaui dengan fakta otentik.
“Sejarah peristiwa pembantaian ini harus ditulis dengan benar. Bukan hanya slogan, tapi harus ada gagasan untuk menulis sejarah itu. Peristiwa ini secara hukum dan yuridis memang diakui, tapi belum mampu menekan secara politis bahwa ada suatu peristiwa yang sangat sadis dan Pemerintah Belanda harus akui itu. Karena itu, sejarahnya harus ditulis dan mata dunia harus dibuka,” tegas Prof Rasyid. (Baslam)
Home
Berkhas
Prof. Rasyid Asba Bicara Peristiwa Pembantaian 40 Ribu Jiwa Korban, Kahar Muzakkar, dan "Bungkamnya" Belanda
Prof. Rasyid Asba Bicara Peristiwa Pembantaian 40 Ribu Jiwa Korban, Kahar Muzakkar, dan "Bungkamnya" Belanda
Admin5 min read