POROSMAJU, SEMARANG-Beberapa waktu lalu, dalam kuliah umumnya di UGM, Presiden Jokowi mengkritik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jokowi menyebut KLHK dengan anggarannya yang besar tidak dapat menciptakan hutan jadi dengan jumlah yang memuaskan di negeri ini.
Hal ini mendapat respons dari Anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtar Tompo. Ia menyarankan agar Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja menterinya berdasarkan data dan informasi yang utuh.
Sebagai mitra kerja KLHK, Mukhtar berpendapat, terdapat beberapa kinerja positif KLHK dan ini tampaknya belum sempat ditilik Presiden Jokowi. Hal ini disampaikan Mukhtar di sela kunjungan kerja Komisi VII di Semarang, Rabu 20 Desember 2017.
“Sebagai Presiden, tentu merupakan hak prerogatif Pak Jokowi untuk mengevaluasi kinerja para menterinya. Namun sebagai mitra kerja Kementerian LHK, kami memiliki tanggungjawab moril untuk memberikan sudut pandang yang mungkin belum sempat ditilik oleh Presiden,” tandas legislator Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan ini.
Mukhtar menyatakan pendapat berbeda perihal apresiasi Presiden terhadap keberhasilan Norwegia dalam mengelola hutan. Hal ini karena kenyataannya, menurut Mukhtar, Norwegia belum juga menghentikan deforestasi atas hutan Indonesia.
“Jika memang Norwegia memeroleh keuntungan dari pengelolaan hutan, mengapa mereka takkunjung memberikan kompensasi penghentian deforestasi di hutan tropis Indonesia,” gugat Mukhtar.
Mukhtar juga menhadirkan fakta perihal janji ganti rugi Norwegia atas Indonesia yang sebenarnya terhitung kecil bagi negara yang tengah diancam pemanasan global tersebut. Ganti rugi ini bahkan menurut Mukhtar sebenarnya merugikan Indonesia.
“Janji Norwegia 522 jt USD atau setara 6,7 Triliun per tahun. Angka ini cukup besar bagi Indonesia, tapi tidak ada artinya jika Norwegia tenggelam akibat Global Warming. Kesejahteraan petani pengguna hutan Indonesia dipertaruhkan dengan komitmen yang tak kunjung terealisasi. Ini sungguh tak adil bagi masyarakat kecil di Indonesia,” tegas Mukhtar.
Mukhtar juga mengingatkan Jokowi, bahwa pemerintahannya patut berbangga memiliki menteri yang memiliki keberpihakan terhadap komunitas adat. Menteri Nurbaya dinilai sukses perihal itu.
“Kementerian LHK telah menetapkan sembilan hutan adat dan mengeluarkan wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta seluas 5.172 hektar dari konsesi PT Toba Pulp Lestari. Ini patut diapresiasi,” ungkapnya.
Keberpihakan KLHK terhadap masyarakat, lanjut Mukhtar, juga ditunjukkan dengan mengalokasikan 12,7 juta hektar hutan untuk kegiatan perhutanan sosial. Penindakan hukum yang tegas atas tindak pengrusakan hutan juga baru terlaksana efektif di era Menteri Nurbaya ini.
“Di sisi penegakan hukum, pemberian sanksi-sanksi pada perusahaan pembakar hutan, dan pengendalian pencemaran lingkungan, merupakan prestasi divisi Penegakan Hukum yang baru terbentuk di era menteri saat ini,” jelas Ketua DPP Hanura ini.
“Dua tahun terakhir, kita tidak pernah lagi melihat kebakaran hutan semassif yang terjadi tahun 2015. Artinya, prestasi Menteri LHK dalam menurunkan angka kebakaran hutan patut diapresiasi,” pungkas Mukhtar.
Mukhtar juga memberikan contoh lain ketegasan Menteri LHK, yaitu dengan penyegelan tempat pembuangan illegal Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), berupa limbah medis/ limbah rumah sakit di daerah Cirebon belum lama ini.
“Bayangkan luas area pembuangan limbah illegal ini mencapai 0,2 hektar. Ketegasan seperti ini pasti membuat banyak pengusaha nakal tidak senang dengan Menteri LHK,” jelas Mukhtar.
Indonesia juga menjadi contoh negara pertama di dunia dengan lisensi Forest Law Enfrocement and Governance and Trading (FLEGT-license), yang menurut Mukhtar, turut berkontribusi dalam penurunan praktik penebangan liar (illegal logging) di Indonesia.
Terkait implementasi Pengendalian Perubahan Iklim (PPI), Indonesia telah berkomitmen dengan meratifikasi Perjanjian Paris dengan UU Nomor 16 Tahun 2016.
“Inilah UU yang paling cepat disahkan di Komisi VII periode ini. Tentu saja taklepas dari kepiawaian Ibu Siti Nurbaya mengomunikasikan pentingnya ratifikasi Perjanjian Paris dalam hukum positif di Indonesia,” jelas Kapoksi VII Fraksi Hanura ini.
Demikian pula lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri, tambah Mukhtar, merupakan bukti kegesitan Menteri LHK.
“Sebenarnya, Indonesia lambat memberi respons terhadap bahaya merkuri. Seharusnya sejak tahun 2013, kita melakukan ratifikasi atas Konvensi Minamata. Nanti di era Ibu Menteri, persoalan ini kembali menjadi konsen KLHK, sehingga bisa menjadi undang-undang,” jelas Mukhtar.
Meski tak menampik kekurangan KLHK, namun prestasi Kementerian ini di era Jokowi cukup menonjol dari era-era sebelumnya.
“Hemat saya, Ibu Siti Nurbaya adalah salah satu menteri terbaik yang dimiliki Presiden Jokowi saat ini,” tutup Mukhtar Tompo.
Anggota Komisi VII DPR RI Sebut Siti Nurbaya sebagai Salah Satu Menteri Terbaik Jokowi
Admin4 min read