Cuma saja diam-diam mereka merancang seorang calon lain, yang reputasinya justru lebih buruk, lebih brangasan dibanding dua calon lainnya. “Biar saja, sekalian rusak desa kita!” – kata mereka. Semacam masochisme politik (Pemilihan Lurah, 213).
Esai-esai lama Emha Ainun Nadjib yang termuat dalam Secangkir Kopi Jon Pakir ini merupakan kumpulan esai yang pernah dimuat di Koran Masa Kini.
Kesederhanaan tuturan, apa adanya, selalu berhasil membuat pembaca yang merasa pelik dengan persoalan politik, dibuat ingin cengengesan saja.
Terdiri dari 155 judul esai singkat, pandangan umum Ema tentang politik dan gambaran kehidupan masyarakat menengah ke bawah tergambar dengan agak nyeleneh.
Pada bagian awal kita diperkenalkan dengan tokoh Jon Pakir yang akan mengantar kita ke setiap sudut pandang pembacaan cerita. Berikut kutipannya;
“Kan Pak Masa Kini suka diejek orang. Masakin itu bahasa Arab, jamak dari miskin. “Pantas Masa Kini miskin terus …,” kata tetangga saya. Maka, sebelum akhirnya nanti saya terangkan panjang lebar “filsafat masa kini”, sekarang yang penting saya tunjukkan sikap: nama saya Pakir. Bahasa Arab juga. Aslinya Fakir dengan lidah Jawa ndeso menjadi Pakir. Sumber akidahnya ialah ayat Allah: “Antumul-fuqarâ’ ‘indallâh”, kalian ini fakir semua di adapan Allah … fuqarâ itu jamak dari fuqîr (hal. 16).”
Berikut beberapa ulasan singkat dari setiap judul yang menarik untuk dibahas kembali di ruang-ruang diskusi. Tentu saja lebih enak kalau sambil ngopi!
Pada bagian yang berjudul Negara yang Santun dan Tertib, Emha memberikan gambaran tentang negara kita yang terlalu mempersoalkan KTP dan surat identitas lainnya karena “sekarang ini keadaan sedang wingit (hal. 172)”.
Foto di paspor harus in detail, telinga harus terlihat karena katanya jika sewaktu-waktu ada yang menggunting daun telinga kita, maka kita punya bukti bahwa daun telinga kita memang berkurang satu.
Dari sini kita dapat melihat gaya penulisan Emha yang dibuat ngawur tapi masuk akal.
Selanjutnya Emha menyinggung persoalan jurnalistik yang berpihak pada judul Jurnalisme Absolut. Esai kali ini nenyangkut kepentingan subjektif perusahaan informasi.
Namun dari topik sederhana itu, persoalan yang ingin diangkat sebenarnya adalah perbincangan soal kekuasaan. Kekuasaan adalah dasar atas segala tindakan yang kita lakukan.
Alih-alih kita melakukan sesuatu atas dasar benar atau pun salah, titik pijakan yang paling empuk dan menjanjikan adalah kekuasaan.
“Tapi memang begitulah ciri kekuasaan, bisakah Anda membayangkan membangun sesuatu – apa pun dan di bidang apa pun – yang tak ditulangpungguni oleh cita-cita kekuasaan? Kalau jawaban Anda, “Ya”, berarti dunia akan kelabu. Tidak putih betul, tapi juga tak hitam pekat (hal. 175).”
Pada bagian lain Emha menyinggung persoalan pemerintahan. Negara ini disimbolkan sebagai Perahu Besar “Go Develop”. Namun di tengah perjalanan perahu itu oleng dan menyebabkan rakyat menderita.
Padahal, semua permasalahan tersebut datang dari sebagian besar tindakan pejabat yang korup, pejabat yang persoalan administrasinya memang kurang beres sejak awal pengangkatannya.
“Beberapa kali perahu jadi oleng, dan sengaja atau tak sengaja banyak penumpang jadi terdesak ke pinggir dan jatuh ke laut. Dan kini keolengan kapal sudah tak bisa ditolelir lagi. Saya berpkir untuk membuang sebagian barang-barang milik staf-staf saya, yang dulu diangkat ke perahu melewati proses admistrasi yang kurang bener (hal. 224).”
Alangkah baiknya ketika menjadi pemimpin, tolok ukur segala tindakan adalah atas nama rakyat. Merugikan salah satu terutama rakyat bukanlah jalan tengah. Kurang lebih itulah yang akan dilakukan Jon Pakir ketika ia adalah seorang pemimpin pada sebuah Perahu Besar.
D iulasan terakhir izinkan saya membahas esai Emha yang berjudul Pemilihan Lurah yang kutipannya sudah saya letakkan di awal sebelum masuk ke pembahasan. Situasi ini sedikit memiliki konteks dengan situasi pasca pemilu saat ini.
Di sebuah desa di Jombang, orang-orang mulai ramai membicarakan tentang penyelengaraan pemilihan lurah baru, karena lurah sebelumnya yang menjabat selama 35 tahun telah meninggal.
Memang teralu lama, dan katanya sudah tidak efektif untuk dinamika masyarakat dan regenerasi. Namun persoalan yang muncul kemudian adalah perihal pemimpin yang akan melanjutkan regulasi pemerintahan desa.
Beberapa tokoh yang terpandang dan dianggap bagus oleh masyarakat tidak ada yang bersedia mencalonkan diri. Hanya ada anak bekas Pak Lurah tapi mereka sudah tahu persis apa yang akan terjadi ke depannya, tidak akan jauh berbeda.
Mengetahui hal tersebut, calon lurah pun berusaha menghadirkan citra diri yang bagus di masyarakat. Cara utamanya yaitu melalui mimbar kehidupan agama. Ia mulai mengikuti kegiatan keagamaan seperti mengikuti pengajian, rajin ke masjid, bahkan mulai berkhutbah.
Tapi masyarakat tidak buta. Meski terlihat manut-manut saja namun mereka sadar bahwa mereka sedang dibohongi. Di depan mereka mendengar saja. Namun di belakang mereka juga merancang sebuah rencana yang tidak kalah mengejutkan.
Beberapa ulasan esai Emha Ainun Nadjib tersebut di atas cukup mewakili setiap topik yang telah disusun sebelumnya. Emha adalah seorang yang kritis, religius, dan cukup identik untuk selalu mewakili keresahan kaum kelas bawah, yang banyak diobrolkan di gardu-gardu, di warung-warung, dan di tempat-tempat obrolan yang strategis. Ditambah dengan bahasanya yang sederhana, efisien, dan lugas, Secangkir Kopi Jon Pakir ini dapat “diminum” oleh siapa saja.