Example 728x250
Berkhas

LGBT dan Kisah Cinta yang Tulus

28
×

LGBT dan Kisah Cinta yang Tulus

Share this article
Example 468x60

LGBT dan Kisah Cinta yang Tulus
Film Carol 2015 (Letterboxd)

POROSMAJU.COM, Wacana LGBT memang sudah lama memanas di Indonesia, bahkan akhir-akhir ini menyentuh ranah perpolitikan segala.
Menurut survey CIA pada tahun 2015 yang dilansir di topikmalaysia.com, jumlah populasi LGBT di Indonesia adalah ke-5 terbesar di dunia setelah China, India, Eropa, dan Amerika.
Selain itu, beberapa lembaga survey independen dalam maupun luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 3% penduduk LGBT.  Ini berarti dari 250 juta penduduk, 7,5 jutanya adalah LBGT. Lebih sederhananya dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat, 3 di antaranya adalah LGBT.
Kenyataannya, tidak semua dari masyarakat yang mempersoalkan orientasi seksual ini, pernah menemui kasusnya secara langsung. Fenomena ini menyebar, katakanlah melaui berita di televisi dan tontonan di layar lebar.
Hal itu tidak terlepas dari label ilegal dan hukum-hukum norma budaya ketimuran serta aturan agama mayoritas di negara kita.
Berusaha memahami dari sudut pandang yang berbeda, akhirnya saya memutuskan untuk mencaritahu melalui tawaran film.
Menarik, mayoritas film bertema LGBT selalu mempertontonkan ketulusan cinta yang luar biasa. Sebagai penonton, kita diarahkan untuk mendukung kisah mereka agar berakhir bahagia. Konflik-konflik yang dihadirkan pun cenderung seragam, penolakan oleh keluarga dan masyarakat.
Film dengan tema LGBT tidak sulit ditemui, pun tidak terlalu sulit untuk mengidentifikasinya. Bahkan, di pencarian teratas, kita akan menemukan  Carol, film LGBT terbaik sepanjang masa versi BFI Flare, London 2017.
Film Carol diangkat dari novel berjudul “The Price of Salt” karya Patricia Highsmith dan diadaptasi ke dalam naskah oleh Phyllis Nagy.
Kisah Carol Aird (Cate Blanchett) yang merupakan perempuan sosialita dan Therese Belivet (Rooney Mara), berawal ketika Carol berkunjung ke pusat perbelanjaan untuk membelikan hadiah natal kepada anaknya. Sejak saat itulah, ketika bertemu Therese Si shopgirl, Carol merasa telah jatuh cinta dan begitu pun sebaliknya.
Film selanjutnya yang cukup popular adalah Yes or No (2010), sebuah film Thai yang dibintangi Aom Sucharat Manaying (Pie) dan Suppanad Tina Jitaleela (Khun Kim), dan disutradarai oleh Sarasawadee Wongsompetch.
Kisah mereka berawal ketika ditempatkan pada asrama yang sama. Hubungan yang sebelumnya cenderung berjarak perlahan mulai berubah. Waktu mengubah segalanya. Penampilan Pie yang feminim dan Kim yang cool membuat penonton tak merasa “aneh” ketika menyaksikan setiap adegannya.
Dari kedua film tersebut, sama sekali tidak menghadirkan orientasi seksual yang menggebu. Kesan yang ada hanya ketulusan satu sama lain yang tidak pernah diperoleh tokoh pada pasangan mereka sebelumnya.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pro-kontra LGBT selalu berangkat dari sudut pandang, masyarakat luas juga personal. Namun, tidak bisa dimungkiri selalu ada kesepakatan bersama yang bernilai objektif dan disepakati sebagai keputusan final.
Tiba-tiba saya teringat candaan salah satu dosen di bangku perkuliahan yang menanggapi fenomena ini; “nyaman nomor satu, jenis kelamin adalah yang ke-seratus-tujuh-puluh-sembilan” (Kartini).
Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *