POROSMAJU.COM, MAKASSAR- Saat ini, Sulsel sedang memasuki tahun politik. Pilkada serentak 2018 setidaknya melahirkan tiga belas daerah arena pertarungan politik.
Pertarungan di tingkat provinsi tentu menjadi pertarungan politik yang menarik karena melibatkan seluruh daerah dengan berbagai latar geopolitik dan budaya yang berbeda.
Mengacu kepada penelitian Mujahidin Fahmid ,“Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik (2011)”, secara garis besar, pertarungan politik di Sulsel terbagi menjadi dua kutub besar yaitu etnis Bugis dan etnis Makassar.
Meski di dalam penelitian, politik etnis disempitkan dengan membandingkan etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa, akan tetapi secara identitas keduanya dapat dibedakan menjadi Bugis dan Makassar.
Penelitian tersebut menunjukkan, secara geopolitik mau pun kebudayaan, ada perbedaan mendasar antara kedua etnis tersebut (Bugis Bone dan Makassar Gowa) dalam pembentukan elite politik.
Secara umum, Fahmi menjelaskan bahwa etnis Bugis dan etnis Makassar mengalami empat tahapan dalam pembentukan elite politik.
Pertama, fase tradisional yaitu pembentukan elite didominasi oleh pengaruh pengetahuan simbolik dan tanda-tanda alam. Pada fase ini simbol budaya sangat berpengaruh dalam proses pembentukan elite. Simbol budaya yang paling menonjol pada fase ini adalah konsep tomanurung.
Tomanurung adalah seseorang yang dianggap turun ke dunia ini untuk menciptakan ketenteraman di masa kacau-balau yang kemudian diakui sebagai leluhur oleh kalangan bangsawan. Simbol tersebut menempatkan tomanurung sebagai orang yang layak menjadi pemimpin kemudian menjadi elite politik.
Dalam Penelitian tersebut dijelaksan wujud tomanurung dalam pembentukan elite politik berdasar penjelasan Prof. Mattulada.
Disebutkan bahwa penyebaran kisah tomanurung secara lisan sebagai turunan langit; pelembagaan benda-benda tertentu sebagai benda sakral yang disebut kalompoang (tanda kebesaran); penentuan berbagai properti simbolik bagi lapisan raja, karaeng, dan turunan raja, anak karaeng, serta penyelenggaraan berbagai ritus yang disakralkan, menjadi bagian yang sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kepatuhan rakyat kepada tomanurung dan turunannya. Lahirlah elite politik.
Kedua, fase feodalisme, era dimulainya para elite Bugis Bone dan Makassar Gowa membentuk dirinya dengan kapitalisasi ekonomi dan tanah menjadi alat reproduksi kekuasaan. Takheran, banyak orang kaya dan tuan tanah yang menjadi elite.
Ketiga, fase Islam modern, fase ini ditandai dengan lahirnya kesadaran elite Bugis Bone dan Gowa dalam intelektualitas dan moralitas. Pada masa ini terjadi resistensi terhadap kapitalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme. Spirit moralitas dan konsep identitas Islam mulai dibawa-bawa oleh para elite.
Kemudian fase keempat, fase sekularisme. Pada fase ini, kehidupan para elite Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam keadaan pragmatis, segala sesuatunya diukur berdasarkan rasionalitas, efisiensi, nilai guna, dan dilakukan dengan pendekatan transaksional.
Dalam perjalanan politik, etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa keduanya menggunakan konsep patron-klien dalam berinteraksi dengan para pengikutnya, yaitu ada pihak yang superior yang menjadi penentu atau patokan (patron) atas pihak imperior (klien). Hal ini mudah saja kita temui wujudnya.
Meski demikian, proses pembentukan elite di Bone berlangsung secara tertutup. Panggung kekuasaan politik di Bone hanya diisi oleh kalangan aristokrat, bangsawan.
Sebaliknya, elite-elite yang mengisi panggung kekuasaan di Gowa lebih variatif dan terbuka. Bahkan, kalangan aristokrat di Gowa mengalami kemerosotan pengaruh. Hal ini menjadikan keterbukaan ruang kepada siapa pun untuk membentuk suatu elite politik. Ini bisa kita lihat pada dua pilkada Gowa yang tidak pernag dimenangkan oleh Raja Gowa.
Dari keempat fase tersebut, tampaknya saat ini Sulsel berada dalam fase sekularisme, sebuah keadaan politik dengan rasionalitas yang tinggi dengan penggunaan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan politik.
Sebagaimana dalam hasil penelitian Fahmi, bahwa para elite etnis Bugis dan Makassar dalam upayanya menjaga keseimbangan kekuasaan, mereka menggunakan cara yang sama pada fase tradisional, feodalisme, dan Islam modern, yaitu kolonialisasi dan atau politik ranjang (perkawinan politik).
Hal menarik adalah fenomena yang kemudian terjadi pada fase sekular. Ada sebuah pergeseran strategi politk ke politik “hibridisasi” (peleburan menjadi identitas baru) untuk memenangkan suatu pertarungan politik.
Hasil riset fahmi menunjukkan pada fase sekularisme, ada perubahan arah strategi politik. Untuk menjaga keseimbangan, mereka menggunakan pendekatan transaksional dan hibridisasi budaya politik.
Salah satu bentuk hibridiasasi yang paling jitu adalah dengan secara bersama-sama antara etnis Bugis dan Makassar mengisi ruang-ruang kekuasaan strategis, baik pada panggung kekuasaan eksekutif, legislatif, mau pun partai politik.
Sebut saja kepemimpinan Gubernur Sulsel HM. Amin Syam berpasangan dengan Sahrul Yasin Limpo (SYL) yang notabene keduanya berasal dari dua suku yang berbeda. Kemudian, pada tahun 2008, SYL berpasangan dengan Agus Arifin Nu’mang yang Bugis. Pasangan ini bahkan mampu memimpin selama dua periode.
Meski banyak pasangan dengan pola hibrid yang sama mengalami kekalahan, akan tetapi hal ini menjadi sebuah acuan dasar bahwa memadukan Bugis dan Makassar merupakan salah satu strategi politik untuk menjaga keseimbangan politik di Sulsel.
Hal ini tentu saja sangat rasional, mengingat Sulsel secara kuantitas didominasi kedua suku tersebut. Etnis Bugis dengan jumlah yang mencapai 46 persen populasi di Sulsel, sedangkan etnis Makassar kurang lebih 35 persen. Selebihnya adalah populasi Toraja, Mandar, dan etnis lainnya.
Merujuk pada Pilgub Sulsel 2018 yang diramaikan empat pasang bakal calon, dua pasang melakukan perpaduan tersebut. Sementara itu, dua pasang yang lain mencoba peruntungan baru dengan formasi yang sama etnis.
Ichsan Yasin Limpo dan Andi Muzakkar, Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman merupakan dua pasangan yang memadukan strategi lama yaitu pasangan Bugis Makassar.
Sementara, Nurdin Halid dan Aziz Qahar Mudzakkar, Agus Arifin Nu’mang dan Tanribali Lamo kedua pasangan ini justru membentuk pasangan seetnis yaitu sama-sama Bugis, meski dengan wilayah “politk” yang berbeda.
Tentuna, ini menjadi hal yang patut ditunggu dari hasil pertarungan Pilgub Sulsel. Apakah lahir sebuah pasangan pemimpin Sulsel dengan pola yang baru ataukah justru pola lama (BugisMakassar) kembali menjadi pasangan yang memimpin Sulsel?
Hanya saja, politik bukan hitungan yang sederhana, maka kita tunggu saja hasilnya. Akankah hibriditas merupakan strategi yang jitu ataukah penggunaan strategi lama: aku A, partnerku B?