POROSMAJU.COM, JAKARTA- Pasal 481 draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018 menuai banyak kritik. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Ajeng Gandini, mengkritik pasal yang mengatur tindak pidana terkait alat kontrasepsi tersebut.
Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang tanpa hak dan tanpa diminta secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, menawarkan, menyiarkan tulisan atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Menurut Ajeng mengatakan, tujuan dari program dalam menekan angka kelahiran terkait peningkatan kesejahteraan terancam gagal diwujudkan jika pasal itu disahkan, dan justru akan merugikan pelaksanaan program keluarga berencana (KB).
“Program KB di Indonesia akan gagal, sasaran-sasaran program KB yang telah dicanangkan pemerintah sulit dicapai karena adanya tindak pidana penunjukkan alat kontrasepsi ini,” ujar Ajeng, dikutip dari laman Kompas.com, Kamis (1/2/2018).
Selain itu, lanjut Ajeng, pemidanaan alat kontrasepsi seperti kondom akan mempersulit upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS.
Berdasarkan data ICJR, setiap 25 menit di Indonesia terdapat satu orang terinfeksi HIV. Satu dari setiap lima orang yang terinfeksi berusia di bawah 25 tahun.
Di sisi lain, ketentuan pemberian informasi kontrasepsi yang dibatasi pada petugas kesehatan akan menyulitkan masyarakat untuk mengakses informasi program KB.
Pasal 483 ayat (1) menyebutkan bahwa hanya petugas berwenang yang dapat mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit menular, kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
“Bila pemberian informasi kontrasepsi dibatasi hanya diperbolehkan untuk petugas atau penyuluh kesehatan, maka penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan semakin sulit tercapai karena masyarakat enggan dan takut dipidana jika mengakses alat kontrasepsi,” tambahnya.