POROSMAJU.COM- Dalam bukunya yang berjudul “The Tao of Physics (2000)”, Fritjof Capra menjelaskan bahwa sepanjang rentang sejarah manusia, pikiran manusia bekerja dalam dua modus kesadaraan pada ikhtiarnya untuk mencari pengetahuan. Kedua modus tersebut yaitu modus kesadaran rasional dan modus kesadaran intuitif. Jika modus kesadaran rasional diasosiasikan dengan sains modern maka modus kesadaran intuitif berasosiasi dengan mistisme timur bahkan agama secara luas.
Jika pengetahuan rasional diperoleh melalui proses abstraksi dari pengalaman empiris, maka pengetahuan intuitif diperoleh melalui pencerapan langsung (tanpa abstraksi rasional) terhadap pengalaman keseharian. Walaupun antara istilah “pengalaman empiris” dan “pengalaman keseharian” hampir sulit untuk dibedakan, tapi yang perlu diketahui bahwa “pengalaman empiris” adalah reduksi pengetahuan rasional dari “pengalaman keseharian” manusia. “Pengalaman empiris” adalah hasil sensor (pengukuran, pengklasifikasian, analisis) terhadap “pengalaman keseharian”. Jika kita meminjam istilah eksistensialisme maka “pengalaman empiris” adalah “pengalaman hasil kognisi”, maka “pengalaman keseharian” adalah “pengalaman pra-kognisi”.
Bagi manusia modern, amatlah sulit untuk menyadari keterbatasan dari pengetahuan konseptual-rasional. Kenapa demikian? Karena representasi kita akan realitas lebih mudah untuk dipahami ketimbang realitas itu sendiri. Dan, celakanya seringkali kita begitu saja menyamakan antara keduanya yaitu antara “representasi atas realitas” dan “realitas” itu sendiri. Maka menurut Capra, pengalaman intuitif dari berbagai tradisi mistisisme timur berusaha membebaskan kita dari kekacauan tersebut, dan ada ungkapan terkenal dari tradisi Buddhis Zen bahwa “jari diperlukan untuk menunjuk bulan, tapi jangan sampai kita menyusahkan diri dengan jari tersebut, setelah bulan bisa kita kenali”.
Singkatnya, hal yang ingin dituju oleh para mistikus timur adalah pengalaman langsung atas realitas, yang bukan sekadar melampaui persepsi inderawi tapi juga mengantisipasi pemikiran nalar. Dalam Upanishad ada pernyataan yang cukup bisa menggambarkan hal tersebut,
“Tak bersuara, tak tersentuh, tak berbentuk, tak termusnahkan,
Tak berasa, tak bergeming, tak tercium,
Tanpa awal, tanpa akhir, lebih agung dari yang agung, tak berubah. Dengan mengenali-Nya, orang terbebas dari mulut kematian.”
Tapi sebenarnya dalam khazanah pemikiran barat modern , telah ada usaha untuk melakukan hal yang sama. Misalnya dalam filsafat Fenomenologi. Ada tesis yang menyebutkan bahwa pada dasarnya kesadaran manusia (cogito) bukanlah kesadaran yang kosong (the empty cogito), otonom dan tak memiliki keterkaitan sama sekali dengan Yang Lain (the others). Kesadaran manusia adalah kesadaran yang selalu berupa “kesadaran akan”, dan inilah yang oleh fenomenologi sebut dengan istilah intensionalitas. Konsep intensionalitas ini sebenarnya ada dalam rangka untuk mengantisipasi dualisme Rene Descartes sekaligus antinomi Immanuel Kant.
Jika dalam dualisme Descartes ada pemilahan oposisional antara kesadaran dan kebertubuhan maka dalam antinomi Kant ada semacam jalan buntu bahwa manusia takbisa sama sekali mendekap noumena (das ding an sich atau hakikat realitas).
Kalau kita membaca beberapa naskah mistisme timur maka kita akan melihat adanya ke-saling-merembes-nya antara pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience). Pengetahuan intuitif yang langsung (hudhuri) secara bersamaan juga berarti pengalaman yang langsung. Menurut penganut Buddhis, pengalaman langsung ini adalah pengalaman “ke-sedemikian” yang tak terdifferensiasi, tak terpilah-pilah dan tak terbatas. Pengalaman “ke-sedemikian” tersebut adalah pengalaman yang memiliki intensitas tak terperikan (sesingkat atau sepanjang apa pun durasi waktunya). Dan, jika kita konseptualisasikan, hal itu biasa disebut dengan “realitas puncak” (ultimate being) atau “The Holy” dalam terminologi Rudolf Otto. “The Holy” adalah semacam realitas sederhana tapi penuh dengan paradoks. Dia “dekat” sekaligus “jauh”, “immanen” sekaligus “transenden”, memesona (mysterium fascinacum) sekaligus menggetarkan (mysterium trememdum).
Para Mistikus Timur dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa “realitas puncak” takakan pernah bisa sepenuhnya menjadi objek penalaran atau pengetahuan yang dapat didemonstrasikan. “Realitas puncak” takakan bisa dideskripsikan secara memadai oleh bahasa atau kata-kata, Upanishad mengaskan hal tersebut :
“ke sana mata tak sampai,
Perkataan tak sampai, begitu juga pikiran. Kita taktahu, kita takpaham. Bagaimana orang akan mengajarkannya ?”
Maka satu-satunya jalan untuk “mengetahuinya” adalah dengan “mengalaminya”, atau dalam beberapa kesempatan para mistikus menyebut “mengalami” ini dengan istilah “melihat” (mempersaksikan/syahadah) sebagaimana ungkapan Jalaluddin Rumi dalam Mastnawi , “menjadi manusia berarti melihat, sisanya hanya kulit
Melihat maksudnya adalah melihat kekasihmu (realitas puncak)
Jika kekasihmu tak terlihat, lebih baik kau buta. Jika kekasihmu tak kekal, lebih baik kau tak punya kekasih”.
Dalam kehidupan keseharian kita, pengetahuan atau pun wawasan intuitif-langsung, biasanya terbatas pada momen yang sangat singkat, dan inilah yang menjadi tantangan bagi tradisi mistisisme timur. Mistisisme timur berusaha untuk menjadikan pengalalaman intuitif-langsung dari yang insidentil belaka, menjadi pengalaman yang terjadi dalam rentang waktu yang lama bahkan akhirnya menjadi kesadaran tetap. Penyiapan pikiran (yang berarti penyiapan raga pula) bagi kesadaran ini- kesadaran nonkonseptual akan realitas- adalah ikhtiar utama dari seluruh tradisi mistisisme timur. Maka lahirlah berbagai maca teknik, ritual, kesenian, termasuk dalam hal ini seni beladiri, dan semuanya ini bisa disebut sebagai meditasi (kontemplasi). Dan, saat mendengar istilah “meditasi” manusia modern terkadang hanya mengaosiasikannya dengan aktivitas kognitif dan afektif belaka, hanya berkaitan pikiran dan perasaan saja. Padahal dalam tradisi mistisisme timur tubuh adalah perpanjangan sekaligus perluasan dari kesadaran.
Tujuan dasar dari semua teknik tersebut (terutama teknik bela diri) adalah untuk mengheningkan pikiran dan dalam rangka menggeser koordinat kesadaran, dari koordinat kesadaran rasional ke koordinat kesadaran intuitif. Dalam berbagai bentuk meditasi timur, pengheningan pikiran dicapai melalui usaha untuk memusatkan pikiran pada objek tertentu. Apakah nafas, liturgi mantra, gambar madala, ataupun gerak ritmis tertentu dalam yoga dan latihan beladiri. Ketika pikiran rasional diheningkan, modus intuitif dialami secara langsung tanpa saringan pikiran konseptual. ”Pikiran bijak adalah cermin langit dan bumi- cermin segala sesuatu” ungkap Chuang Tzu.
Modus intuitif oleh Yasutani Roshi seorang guru Zen disebut dengan istilah shikan-taza. Tentang ini dia mengatakan, ”Shikan-taza adalah keadaan lebih tinggi lagi dari sekedar terkonsentrasi, ketika seseorang tidak tegang ataupun tergesa-gesa, dan pastinya tidak lengah. Ini adalah pikiran orang menhadapi kematian. Bayangkan Anda terlibat dalam pertarungan samurai…”. Dengan kata lain ada keserupaan antara kesadaran meditatif dengan kerangka pikiran seorang kesatria atau pendekar. Maka tak heran jika latar belakang dari naskah religius Bhgawad Gita adalah medan perang, sedangkan seni bela diri merupakan bagian penting dalam kebudayaan Cina, Jepang dan Asia Tenggara. Maka dahulu kala, memang agak sulit kita membedakan antara seorang mistikus dengan seorang pendekar atau ksatria.