POROSMAJU.COM, Masyarakat percaya bahwa dahulu, di atas sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa merupakan wilayah lautan sehingga yang muncul laiknya tempurung yang tersembul di atas permukaan air.
Di puncak Cimbolo inilah muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung KarampuluE (seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk warga berdiri). Kata KarampuluE tadi akhirnya berubah menjadi Karampuang.
Karampuang adalah nama sebuah kampung yang terletak sekitar 31 km arah barat Ibu Kota Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Daerah ini memiliki sejarah panjang serta beberapa keunikan yang disandangnya. Satu di antaranya adalah bentuk dari arsitektur bangunannya.
Sebagaimana yang ditulis oleh Muhannis dalam Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai (2009) bahwa arsitektur tradisional sarat akan makna simbolik. Arsitektur tradisional khususnya di Sulawesi Selatan banyak merepresentasikan gender dalam analogi bentuknya.
Rumah adat Karampuang memiliki simbol-simbol gender yang dijadikan sebagai bentuk tampilan bangunan dengan filosofi bentuk yang melambangkan tubuh seorang perempuan.
Aspek gender dalam arsitektur tradisional Karampuang di Kabupaten Sinjai dalam hal simbolisasi anatomi tubuh perempuan, antara lain: peletakan tangga dan dapur di tengah rumah sebagai simbol alat reproduksi seorang perempuan serta penggunaan ornamen pada bagian samping kiri dan kanan bangunan. Ornamen ini dianggap sebagai perhiasan wanita (anting-anting).
Untuk merenovasi atau mengganti salah satu tiang atau alat-alat penting dari rumah adat tersebut, ramuan kayunya harus diambil dari dalam hutan kawasan adat. Kayu-kayu tersebut harus ditarik dan pantang sekali dipukul.
Material yang digunakan dalam membangun rumah adat semuanya di ambil dari hutan adat, saat mengambil hasil hutan harus dilakukan dulu upacara adat. Proses pengambilan hasil hutan harus diselesaikan dalam satu hari saja.
Upacara pengangkutan kayu dari dalam hutan ke kawasan rumah adat dikenal dengan nama upacara adat madduik yang dilakukan setiap bulan November dan juga disebut upacara Mappogau Sihanua.
Dalam kawasan adat desa Karampuang terdapat dua rumah adat yang pertama kita temui itu adalah rumah adat Perdana Mentri atau yang sering disebut oleh masyarakat sekitar Puang Gella. Kemudian rumah adat Raja atau disebut Puang To matoa.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur, Universitas Hasanuddin, Makassar, Nasruddin dkk. (2013) dengan judul Aspek Gender Arsitektur Rumah Adat Karampuang di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan menuliskan bahwa ornamen dan bagian penting yang ada pada rumah adat Karampuang, baik rumah To Matoa maupun rumah Gella.
Ornamen tersebut, yaitu 1) Timpa laja; 2) Bate-bate/loe-loe; 3) Zhyuling; 4) Tappi/tobo’ melambangkan tanduk kerbau, ini menandakan jika bagian rumah pocco lehu dibongkar (diganti) maka harus disembelihkan seekor kerbau.
Ada juga sumber lain yaitu Puang Mattang seorang pemerhati adat. Ia mengatakan kalau itu adalah simbol mahkota (bombo’) dan tusuk konde (tobo’) seorang dewi (perempuan), lengkap dengan kalungnya. Sementara untuk Posi Bola sebagi pusat atau inti rumah, terletak ditengah-tengah rumah.
Addeneng (tangga), posisinya di bagian tengah rumah yang melambangkan jika manusia itu dilahirkan dari rahim seorang ibu dan keluar melalui alat kelamin (vagina).
Jumlah anak tangga untuk rumah Arung (Tomato) adalah sebelas, sedangkan Gella Sembilan anak tangga. Artinya Arung lebih tinggi posisinya dan pasti kedua-duanya jumlahnya ganjil; 6) Dapureng (dapur) posisinya di depan tangga, juga diibaratkan sebagai payudara ibu dengan maksud manusia terlahir kedunia ini saat pertama kalinya akan langsung menyusu kepada ibunya.
Ini dimaksudkan sebagai sumber kehidupan; 7) Batu Tuo (batu hidup) sebagai pemberat untuk membuka pintu yang diibaratkan sebagai bagian alat kelamin perempuan (klitoris), makna lain adalah merupakan sesuatu yang harus dijaga dari seorang perempuan, dan dimaksudkan untuk terus menjaga kelestarian adat.
Saat ini di Karampuang masih terdapat perangkat-perangkat adat yang lengkap dan utuh, yang masih tetap dipertahankan dan tetap berfungsi turun temurun dengan nilai-nilai filosofi yang masih terjaga.
Aspek Filosofi Tubuh Seorang Perempuan dalam Rumah Adat Karampuang
Admin3 min read
