POROSMAJU.COM, Masih ada keragu-raguan kapan kiranya Milennials bermula dan berujung. Beberapa mengatakan kalau ia adalah anak-anak yang lahir tahun 1983-1997. Sebagian berargumen dari tahun 1982-1997.
Di majalah Entertainment Weekly, Milennials didefinisikan sebagai siapa pun yang saat ini berumur antara 20-38 tahun. Sedang BusinessWeek bilang mereka saat ini bisa saja dari kisaran umur 13 tahun. Apapun itu, kita semua mengenal mereka. Mereka adalah generasi paling digital di bumi.
Era digital mengenalkan kita pada konsep keterbaruan teknologi dengan lebih baru, lebih baik, lebih cepat, lebih murah. Akan tetapi, teknologi juga menghasilkan residu. Tanpa sengaja teknologi lama menjadi ketinggalan zaman.
Ketika gawai yang masih layak dan laik dipakai tapi dicap sudah usang. Celakanya memang untuk menjalankan aplikasi yang semakin canggih, beraneka tugas, gawai itu susah payah, tertatih-tatih menerima perintah si pemilik.
Lebih parahnya lagi jika gawai itu tidak dapat menjalankan aplikasi terbaru. Alasannya sederhana. Aplikasi anyar hanya bisa dijalankan dengan syarat tertentu. Kapasitas perangkat keras yang lebih besar, lebih cepat, dan harus gunakan sistem operasi terkini.
Saya tidak menulis tentang Milennials atau pun digitalisasi. Ada sebuah utopis yang lahir dari keduanya; hasrat untuk menjadi yang pertama.
Faktanya, banyak orang di sekitar kita, karena gengsi dan didorong oleh ilusi harga diri, berusaha setengah mati untuk jadi “yang pertama” demi eksistensi. Kelihatannya sih gembira, entah apa yang mereka rasakan sebenarnya.
Memang, manusia adalah makhluk yang kompetitif. Punya kecenderungan untuk ingin selalu menjadi yang pertama. Sifat tersebut bahkan ditunjukkan secara alamiah sebelum terjadinya pembuahan, saat jutaan sel sperma mesti bersaing untuk membuahi satu sel ovum.
Agar senantiasa menjadi yang pertama, maka manusia melakukan evolusi dalam hal konsumsi. Pertumbuhan yang sangat cepat membuat mereka harus senantiasa memiliki segala hal yang baru. Kalua tidak yah resikonya bisa dikucilkan dari pergaulan.
Kita bisa ambil contoh orang-orang yang terbang ke luar negeri, untuk membeli dan jadi pemilik iPhone X pertama di kotanya. Hasrat ingin menjadi yang pertama membuat mereka sangat tak sabar ingin menikmati semua fitur terbaru dari telepon genggam super pintar seharga satu unit motor itu.
Ada juga yang memutuskan untuk menonton film tertentu biar terkesan update, padahal waktu nonton bosannya tidak karuan. Tapi kemudian sok yakin menjelaskan nilai moral, sinematografi, serta interpretasi pribadi.
Setelah nonton merasa haus dan nekat pesan espresso saat mengunjungi kafe baru, lalu menyumpah dalam hati “sudah isinya sedikit, mahal, pahit lagi!” Setelah itu memproklamasikan diri sebagai pecinta kopi asli, bukan produk pasaran.
Gaya hidup yang sangat kompetitif yah.
Sepatutnya memang kita sibuk mempersiapkan diri untuk masa depan saat ini. Tetapi pastikan bahwa nantinya ada sesuatu dari masa sekarang yang bisa kita ingat dengan manis sebagai bagian dari masa lalu di masa depan.
Apalah artinya hidup di hari tua tanpa kenangan yang berbuah senyuman.
Secara keseluruhan, hal yang paling penting adalah menjaga diri kita agar jangan sampai–secara sadar atau tidak–ikut setengah mati ingin jadi “yang pertama” hanya gara-gara gengsi dan latah budaya.
Lagipula, kita tidak hadiah dengan menjadi “yang pertama”? Kenapa tdak sekalian saja mengejar jadi “yang pertama” menghadap ke yang mahakuasa? (Muh Ridho)
Milenials dan Digitalisasi: Hasrat untuk Menjadi yang Pertama
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…