OPINI.POROSMAJU.Com–Beberapa hari lalu, sempat viral di facebook dan whatsapp grup terkait postingan yang menuding tim medis (lebih difokuskan pada dokter) menjadikan pandemi Covid-19 sebagai lahan mata pencaharian.
“Biar bukan penyakit Covid-19 dipaksakan untuk memvonis PDP Covid-19, atau positif Covid-19,” begitu penggalan statusnya.
Postingan tersebut telah dishare dan dikomentari ribuan kali sebelum dihapus penulis, entah atas pertimbangan apa. Tetapi sayangnya penulis tidak bisa menghapus satu persatu screenshoot di handphone netizen yang terlanjur viral di berbagai medsos.
Saya tidak posting screenshoot , pasalnya status tersebut bisa melukai hati tenaga kesehatan karena berisi provokasi, tudingan, kebencian pada tim medis (dokter) dan rumah sakit yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dokter dalam menegakkan diagnosis selalu berdasarkan pedoman dan protokol yang telah ditetapkan. Tupoksi dokter adalah memeriksa dan mendiagnosis pasien kemudian memberikan terapi yang sesuai berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan, bukan berdasarkan perasaan apalagi ramalan.
Dalam menetapkan status pasien yang diindikasi PDP, harus ada sejumlah kriteria yang memenuhi syarat, kemudian ditunjang dengan serangkaian tes darah seperti, Rapid Diagnostic Test (RDT) atau lebih dikenal dengan rapid tes, pemeriksaan rontgen (ronsen) dan swab (PCR). Bila tes darah dan rontgen menunjukkan ada tanda infeksi atau peradangan di saluran napas dan paru-paru, maka pasien ditetapkan sebagai PDP sambil menunggu konfirmasi hasil swab yang biasanya keluar sekitar satu minggu.
Itulah sebabnya mengapa banyak pasien berstatus PDP di rumah sakit. Bukan karena dijadikan “lahan mata pencaharian” untuk dokter. Banyak atau sedikit pasien PDP maupun positif corona di rumah sakit tidak menambah jumlah gaji dan jasa tenaga kesehatan, termasuk dokter.
Sebagai Informasi, bila dokternya berstatus ASN, gaji yang diterima sama dengan gaji ASN lainnya, yaitu sesuai dengan pangkat/golongannya. Sedangkan jasa tenaga medis yang diterima sejak 3 bulan terakhir malah terjun bebas karena berkurangnya kapitasi dan kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan.
Jadi kalau ada yang tanya apakah dokter dan tenaga kesehatan lain diuntungkan selama masa pandemi ini? jawabannya tentu saja TIDAK. Yang ada malah jasa medik berkurang, beban kerja bertambah berat, diliputi perasaan cemas tertular corona setiap memeriksa pasien, diintimidasi keluarga pasien, difitnah dan dicaci maki oknum yang tidak berperasaan.
Lalu bagaimana dengan insentif berjuta-juta yang dijanjikan pak presiden sekitar 2 bulan yang lalu? Sampai hari ini hilalnya belum kelihatan gaes. Kalau dikasi Alhamdulillah, kalaupun ternyata cuma prank yakinlah tenaga kesehatan kita akan tetap bekerja dengan penuh tanggung jawab atas nama kemanusiaan sesuai dengan sumpah profesi mereka.
tapi kenapa perawatan satu pasien corona bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah?
Sini saya jelaskan. Duitnya itu masuk kas rumah sakit, Bukan masuk di kantong dokter. Dana sebanyak itu digunakan untuk perawatan di ruang ICU, ruang isolasi, pemakaian ventilator, belum lagi pengeluaran alkes, obat-obatan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang (rontgen/CT Scan), pengadaan APD, dll. Untuk rinciannya silahkan baca Surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK 02/2020 tentang besaran biaya Covid-19 per hari, baik pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.
Kembali ke pasien PDP…
Selama berstatus PDP, pasien ditatalaksana seperti pasien terkonfirmasi Covid-19 sampai terbukti bukan, termasuk pada pasien yang meninggal sebelum hasil swab keluar.
Kenapa seperti itu? Karena kita bersiap untuk kemungkinan hasil swab yang positif. Agar potensi penularan pada tenaga kesehatan, keluarga pasien dan pasien lain yang ada di rumah sakit bisa diminimalisir. Kalau hasilnya negatif? Syukur Alhamdulillah, pasien bisa dipindahkan dari ruang isolasi dan ditatalaksana sesuai dengan penyakit yang dideritanya.
Namun yang cukup banyak terjadi di lapangan adalah pasien berstatus PDP meninggal sebelum hasil swab keluar. Keluarga pasien tidak mau jenazah dimakamkan sesuai protokol Covid-19 karena menganggap tidak ada bukti hasil swab yang menegaskan bahwa pasien betul “sakit corona”.
Ada juga oknum paham paranoid yang mencurigai organ tubuh pasien PDP/positif corona seperti jantung, hati dan ginjal dipreteli sebelum jenazah dimasukkan ke dalam peti dan langsung dimakamkan. Itulah sebabnya peti jenazah tidak boleh dibuka dan dibawa pulang.
mengambil organ manusia dan menyimpannya agar tetap bisa berfungsi untuk dicangkok ke orang lain itu tidak semudah memotong perut sapi, lalu jantung, hati dan ginjalnya dibekukan di lemari es, lalu dijual ke peminatnya. Jadi berhentilah berasumsi yang tidak masuk akal dan meracuni pikiran orang lain!
Kami tentu saja turut berduka cita dan berempati atas meninggalnya pasien baik yang berstatus PDP maupun postitif Covid-19. Tetapi protokol Covid-19 yang sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 18 tahun 2020 harus tetap dijalankan untuk meminimalisir penularan bilamana hasil swab pasien ternyata positif.
Lalu bagaimana bila hasilnya negatif? Apakah termasuk dalam kategori salah diagnosa (malpraktik)? Tentu saja tidak. Karena tindakan yg dilakukan dokter dan pihak rumah sakit sudah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan demi kebaikan kita bersama.
Inilah pentingnya edukasi dan komuniskasi pada masyarakat, terutama keluarga pasien PDP/positif corona agar kedepannya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apabila kondisi terburuk terjadi.
Dalam menangani pandemi ini harus ada kerja sama antara pemerintah, masyarakat dan tenaga kesehatan. Bila salah satu komponen ini abai, maka pandemi ini akan semakin berkepanjangan.
Mari kita saling mendukung dan memotivasi, bukan saling menuding dan memprovokasi.
dr. Fatimah Radhi, M.Kes