Porosmaju-Jalanan merupakan sarana umum yang takpernah lekang oleh manusia. Ribuan bahkan jutaan manusia menggunakannya setiap hari. Hal ini menjadikan jalan bukan hanya sebagai akses lalu litas, tetapi terkadang menjadi ruang-ruang kekerasan.
Jauh sebelum istilah begal seperti belakangan ini merebak di masyarakat, jalanan memang sudah menjadi tempat pencabut nyawa dengan berbagai kecelakan-kecelakaan.
Jalanan juga merupakan tempat merebaknya fenomena-fenomena sosial seperti, jambret, bahkan pertengkaran-pertengkaran antar individu.
Ironisnya, fenomena-fenomena ini kerap menjadi tontonan yang sangat diminati masyarakat. Jika terjadi kecelakaan, jambret, atau begal, hanya menunggu waktu sesaat untuk mengubah jalanan menjadi tempat tontonan.
Orang-orang menghentikan kendaraan dan macetlah jalanan!
Di jalanan jugalah, untuk peristiwa seperti maling, begal atau tindakan-tindakan kekerasan lainnya, kerap masyarakat ikut menghakimi pelaku.
Seakan takada alasan yang bisa membuat orang tidak melakukan penghakiman.
Bahkan untuk perkara yang belum jelas, masyarakat tetap saja menuruti keinginan untuk melakukan kekerasan. Kasus dugaan pencurian ampli masjid di Babelan, Bekasi, Jawa Barat, misalnya.
Perihal ini, Gustave Le Bon dalam buku Psikologi Revolusi mengemukakan, kerumunan orang banyak dipengaruhi sebuh proses contagion (penularan).
Banyak individu akan tertarik untuk melakukan kekerasan, ketika beberapa orang melakukan kekerasan juga. Seseorang mudah kehilangan tanggung jawab dalam keadaan sosial yang berkelompok (berkerumun).
Hal ini kemudian menyebabkan banyak terjadi peristiwa yang disebut “diamuk massa” yang tak jarang memakan korban.
Hal kedua yang menyebabkan seseorang ikut dalam melestarikan kekerasan, termasuk di jalanan, adalah spiral kekerasan itu sendiri.
Teori ini berasal dari Dom Helder Camara dalam bukunya Spiral Kekerasan. Camara mengemukakan, seseorang yang merasakan kekerasan cenderung akan melakukan pembalasan.
Seseorang yang melakukan pembalasan membuat orang lain juga ingin melakukan pembalasan. Hal ini akan membentuk spiral kekerasan yang tidak terputus.
Jika ini ditarik ke peristiwa-peristiwa kekerasan di jalanan, seseorang yang pernah melakukan dijambret, dibegal, atau kemalingan memiliki rasa untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku.
Akhirnya, ketika di jalanan menemukan hal yang sama, hadirlah perasan “berhak” ikut menghakimi pelaku. Jadilah spiral kekerasan itu.
Ikut andil dalam penghakiman tanpa tahu duduk perkara tentunya sebuah keputusan yang keliru. Menghakimi dengan amuk, meski tahu duduk perkara pun, juga keliru!
Hal ironis lain yang menyedihkan juga sering terjadi kepada korban kecelakaan dan fenomena jalanan lainnya.
Korban kecelakaan lalu lintas, misalnya. Ini akan menyedot animo pengguna jalan untuk berkerumun.
Hanya saja, kerap kali, lebih banyak orang yang memilih menonton daripada menolong.
Setelah melihat dan mengetahui keseluruhan kronologi, maka kebanyakan mereka memilih meninggalkan korban. Tampaknya, mereka merasa kehilangan tanggung jawab karena merasa atau berpikiran, dirinya hanya sebagai penonton.
Budayawan dan Sasstrawan Seno Gumira Ajidarma pernah mempertanyakan tentang etika seseorang yang menonton dan pada akhirnya memutuskan pergi tanpa bertindak apa-apa.
Pertanyaan ini tentu saja masih relevan hingga saat ini.
Mengapa seseorang suka menonton kecelakaan di jalanan, tetapi tidak untuk menolong? (*)