POROSMAJU-MAKASSAR, Guru besar Universitas Bosowa, Prof. Marwan Mas, menilai bahwa salah satu penyebab maraknya korupsi adalah biaya politik yang mahal. Hal ini diungkapkan kepada Porosmaju.com saat diwawancara Jumat, 9 Desember 2017 kemarin, dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia.
“Ada tiga institusi pemberantas korupsi, tetapi realitas berkata lain. Korupsi terus saja terjadi sampai ke desa. Tentu ada yg tidak efektif dalam penanganan korupsi yang terus menggurita. Salah satu pemicunya, karena biaya politik untuk meraih jabatan publik terlalu mahal,” ungkapnya.
Besarnya biaya politik untuk meraih suatu jabatan, menyebabkan pejabat tersebut berpikir untuk mengembalikan modal saat menjabat. Pejabat yang telah menduduki jabatan tertentu merupakan pejabat publik yang akan mengambil keputusan.
“Sementara, pejabat publik (penyelengara negara) itulah yang dipilih rakyat dengan mengeluarkan biaya yang sangat besar yang membuat kebijakan,” ujar Marwan.
Lebih lanjut, Marwan mengungkapkan bahwa besarnya biaya politik untuk meraih suatu jabatan menyebabkan pejabat publik berpikiran mencari pengganti modal yang telah dikeluarkannya. Akibatnya, tentu saja adalah korupsi melalui kekuasaan kebijakan.
“Akibatnya tentu bisa ditebak, setelah terpilih akan mengembalikan uang besar yg dikeluarkan itu, atau memberi proyek yang dibiaya APBN-APBD kepada oknum pengusaha hitam dengan cara yang bertentangan dengan prosedur dalam pengadaan barang/jasa, sebagai balas budi,” ujarnya.
“Mereka yang diperiksa di Pengadilan Tipikor mengaku korupsi dilakukan karena mengembalikan uang besar yang dipakai dalam pilkada,” lanjut Marwan terkait hubungan antara korupsi dan mahalnya biaya politk.
Ketika ditanya perihal kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Marwan menilai bahwa kinerja KPK cukup bagus dalam penanganan tindak pidana korupsi.
“Saya kira KPK cukup bagus penanganannya. Kasus e-KTP saya kira akan terus bergerak, terutama penetapan tersangka Setya Novanto, yang ternyata berkas perkara sudah di Pengadilan Tipikor dan akan mulai diperiksa pada Rabu, 13 Desember 2017,” kata Marwan perihal KPK yang saat ini menangani korupsi e-KTP.
Marwan mengungkapkan bahwa setelah KPK berhasil melengkapi berkas Setya Novanto dan melimpahkan ke Pengadilan Tipikor, itu berarti bahwa permohonan Prapradilan Setya Novanto gugur karena agenda pembacaan putusan Prapradilan akan dilaksanakan pada Kamis, 14 Desember 2017. Hal ini berdasarkan aturan Pasal 82 Ayat (1) Huruf-D KUHAP.
Untuk Sulawesi Selatan sendiri, bagi Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini, mengungkapkan bahwa pihak berwenang telah melakukan tugas dan fungsi sebagaimana semestinya. Hanya saja, masih ada hal yang mesti dievaluasi.
“Kepolisian dan Kejaksaan sudah bekerja sesuai kewenangannya dengan mengembalikan keuangan negara. Namun, ada koreksi, antara lain masih seringnya bolak-balik BAP dari polisi dan kejaksaan,” ujar Marwan.
Keterlambatan penanganan dan penetapan kepada terduga korupsi juga akan berimplikasi buruk. Marwan mencontohkan kasus Jeng Tang yang kini sulit untuk dilakukan pemeriksaan terhadapnya.
”Penetapan tersangka Jen Tang dalam dugaan korupsi sewa lahan tanah negara di Kelurahan Buloa yang tidak antisipatif dari kejaksaan. Sebab ada dugaan yang bersangkutan sudah di luar negeri, Singapura, barulah ditetapkan tersangka, padahal, sebelumnya sudah disebut-sebut,”ungkapnya.
Lebih lanjut, Marwan menilai bahwa keterlibatan pencegahan dapat dijadikan cela pelaku untuk menyeleweng.
“Akibatnya, Jen Tang takbisa diperiksa, sehingga saya sudah sarankan sejak awal agar penyidik kejaksaan meminta pada Kepolisian untuk ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Selanjutnya meminta bantuan Interpol di Singapura untuk menangkap yg bersangkutan dan dijemput untuk proses hukum,” ungkap Marwan.
Tindakan Korupsi dalam alinea kedua UU No. 40/2002 ttg KPK (UU KPK), ungkap Marwan, adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga harus ditangani dengan cara luar biasa pula. Ini salah satu filosofi pembentukan KPK yg diberi 9 kewenangan pamungkas dalam Pasal 12 UU KPK.
Dalam kurun waktu 1 Januari hingga 30 Juni 2017, Indonesia Corupption Watch (ICW) mencatat ada 226 kasus korupsi. Kasus dengan jumlah tersangka 587 orang itu merugikan negara Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar.
Sedangkan berdasarkan catatan Prof. Marwan Mas, sampai awal Desember 2017 ini, terdapat 377 kepala daerah yang terlibat korupsi.
“Dalam catatan saya sudah 377 kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) sejak pilkada langsung mulai Juni 2005 sampai sekarang yg terjerat kasus korupsi yg diproses oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK,” ujarnya.
Data ini relevan dengan argumen awal Prof. Marwan bahwa biaya politik yang mahal menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi saat ini.