POROSMAJU, MAKASSAR- “Budaya Konsumeristik”, demikian istilah sosiologi untuk menamakan kebiasaan masyarakat untuk berbelanja. Budaya belanja ini merupakan budaya yang lazim di dunia, terlebih di Indonesia. Keseharian masyarakat dipenuhi dengan komsumsi yang menyebabkan perputaran uang.
Belanja sebagai sebuah budaya kemudian merembes ke arah yang diistilakan sebagai perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif merupakan perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan kebutuhan, melainkan karena adanya keinginan atau hasrat yang seringkali irasional.
Hal senada dikemukakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, bahwa perilaku konsumtif adalah kecendrungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan.
Contoh sederhana perilaku konsumtif adalah membeli pakaian yang sebenarnya tidak dibutuhkan, tetapi hanya karena diinginkan. Hal ini tidak hanya berlaku pada pakaian tetapi juga bentuk komsumsi yang lain seperti makanan dan minuman, demikian pula kosmetik. Bahkan menongkrong di tempat-tempat yang memungkinkan ada aktivitas konsumsi atas sesuatu yang berbayar pun termasuk.
Muhammad Ridha dalam buku Sosiologi Waktu Senggang: Eksplotasi dan Komodifikasi Perempuan di Mall menyebutkan bahwa Mal sebagai salah satu tempat konsumerisme ini subur, dimodifikasi sedemikian rupa untuk menarik pengunjung sehingga menjadi tempat mewadahi konsumen.
Mal dengan segala tawaran diskon dan tempat kongkow-kongkow yang nyaman, full-AC, makanan Eropa, dan merek terkenal, tentunya akan menjadi pilihan yang menarik untuk menghabiskan waktu di dalamnya. Selain itu, Ridha juga mengungkapkan adanya kepercayaan terhadpa mitos “politik identitas” di dalam suatu komsumsi.
Mitos itu, “Apa yang kau komsumsi adalah seperti apa kau.”
Berdasar pada doktrin tersebut membuat kita berpikir, berkunjung ke Mal akan menunjukkan identitas yang berbeda ketika kita berbelanja di pasar. Keterpesonaan pada situs kemewahan mall menurut Ridha berakar dari Barat. Pembangunan situs-situs pemenuhan waktu senggang dimasifkan untuk wadah komsumsi.
Hal inilah yang terjadi di mal. Di surga penuh ilusi ini, anda tidak akan kepanasan karena full- ac. Ketika anda lelah, anda dapat beristirahat di warung makan atau kedai kopi di dalam mal. Produk-produk ritel seperti Ramayana, Matahari, Metro dan sejenisnya akan setia-sedia menggoda anda dengan berbagai diskon-diskon.
Akan tetapi, Mal sebagai tempat komsumsi menarik untuk ditelusuri pasca pergeseran komsumsi melalui belanja daring (online shop-olshop). Situs-situs olshop seperti, Blibli.com. Bukalapak, Tokpedia, Lazada dan perusahan e-commerce lainnya seakan merebut hati para penggila belanja.
Bank Indonesia (BI) pada bulan Agustus 2017 melansir bahwa belanja daring masyarakat Indonesia menembus angka Rp75 Triliun. Perkembangan perusahaan berbasis digital dinilai sangat luarbiasa. Hal ini bisa saja, dan tampaknya telah mulai, mengancam usaha ritel yang masih berbasis konvensional.
Meski demikian, pengamat ekonomi seperti Dradja Wibowo mengungkapkan bahwa penyebab menurunnya belanja ritel dan penutupan beberapa gerai ritel seperti 7 Eleven, Ramayana, Matahari, maupun Hypermart, bukanlah karena olshop.
Dari hasil wawancara beberapa warga Makassar tentang perbandingan belanja daring dengan belanja di ritel-Mal, dapat disimpulkan bahwa memang ada pergeseran dari kebiasaan berbelanja di mal ke belanja dengan jari, olshop.
Hal ini diungkapkan oleh Hidayat. Ia mengaku meski beberapa kali kecewa dengan belanja olshop, ia tetap kepincut dengan “belanja kekinian ini”. Tapi, ia mengaku ketakutannya lebih besar dibanding inginnya.
Beberapa kali, ungkap Hidayat, barang yang dibelinya dari olhsop tidak sesuai antara deskripsi di laman dengan nyatanya. Karena itu, ia kecewa dan takut berbelanja di olshop, meski seringkali ia masih menengok dan berpikir untuk belanja lagi olhsop.
Hidayat juga mengaku masih lebih tertarik dengan Mal. Ini karena barangnya yang dapat langsung diketahui dan diterima. Selain itu, pergi ke mal menghadirkan nilai lebih, seperti jalan-jalan atau bertemu dengan orang yang tidak disangka-sangka.
Sementara itu, Dewianti berpendapat, belanja daring lebih efisien daripada belanja di mal. Dengan tiduran, Dewi bisa membeli barang yang ia inginkan.
“Belanja online itu lebih efisien, irit waktu, tidak buang-buang tenaga ke mal, dan biasanya lebih murah,” ujar Dewi.
Meski demikian, Dewi mengugkapkan bahwa ia tidak ingin jika Mal tutup terlebih sampai bangkrut. Ini karena, menurutnya, mal masih menjadi tempat yang menarik untuk nongkrog, makan, dan menonton di bioskop.
Lain halnya dengan Noviana yang mengaku bahwa dirinya berbelanja daring karena barang di olshop lebih menarik.
“Alasan saya beli online karena kusuka barangnya di olshop. Lagian belanja online juga bisa dilihat testi-nya (testimoni), kalau bagus kita bisa tanyakan bahan dan kualitasnya,” ungkap Novi.
Sama dengan Dewi, Novi juga mengungkapkan, meski suka berbelanja online, ia tetap ke mal karena ingin makan dan menonton di bisokop.
Sementara itu, Razi, mengaku belanja daring karena tidak usah buang tenaga banyak untuk belanja. Hanya saja, ia mengaku harus sangat berhati-hati dengan barang yang ia akan beli di olshop.
Ditanyai kecenderungannya, Razi mengaku lebih cenderung belanja daring. Ia mengaku belanja malas belanja di mal. Mal bagi Razi hanya untuk aktivitas bertemu dengan orang atau menonton film.
Selanjutnya, Miftahunnur. Ia mengungkapkan bahwa ia lebih memilih belanja online karena pajak di mal yang membuat barang mahal.
“Kalau di mal ada pajaknya, jadi barangnya lebih mahal,” ungkap Mita.
Lebih lanjut, Mita mengungkapkan bahwa terkadang alasannya ke mal adalah untuk membandingkan harga di mal dengan harga di olshop.
“Makanya, saya kalau mau beli kosmetik, baju, dan lain-lain, pergika dulu di mal cek-cek harga,” kata Mita.
Merujuk pada wawancara dengan responden tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka yang berbelanja olshop tetap datang ke Mal. Usaha e-commerence bukanlah ancaman bagi Mal, tetapi bisa menjadi ancama bagi usaha ritel di dalam Mal.
Menarik untuk menantikan efek dari hari belanja online nasional, 12-15 Desember 2017 ini.
Harbolnas: Bagaimana Nasib Usaha Ritel di Mall?
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…