POROSMAJU-MAKASSAR, Singles’ Day, demikian nama sebuah hari pada tanggal 11 bulan 11 yang dimaksudkan untuk mencari pasangan para jomblo di Tiongkok pada tahun 1999. Single’s Day ini kemudian diperingati terus menerus sebagai hari jomblo yang pada umumnya dirayakan oleh anak SMA.
Berselang sepuluh tahun, pada tahun 2009, Alibaba, sebuah perusahaan dagang besar di Tiongkok, melihat peluang Single’s Day dengan menggeser tujuan hari jomblo tersebut. Alibaba mengarahkan jomblo bukan lagi untuk mecari pasangan, tetapi justru berbelanja dengan penawaran diskon besar-besaran dari Alibaba.
Sejak tahun 2009, Single’s Day kemudian berubah menjadi hari belanja daring dengan diskon besar dari e-commerce. Tahun 2016, tercatat untuk kawasan Asia Tenggara, perputaran ekonomi Single’s Day merupakan yang terbesar dibandingkan dengan hari belanja daring yang lain. Perputaran uang Single’s Day 2016 menyentuh angka US$17,8 miliar.
Mirip Alibaba, e-commerce Indonesia juga tidak kalah inovatif. Pada tahun 2012, Asosisiasi ecommerce Indonesia (IdeA) juga memanfaatkan simbol “tanggal cantik” 12.12.12 menjadi hari belanja daring yang hingga kini dikenal dengan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas).
Di awal kehadirannya, Harbolnas hanya diikuti 7 e-commerce. Saat ini menurut data tirto.id setidaknya sekitar 250 ecommerce sudah terlibat di dalamnya. Sebesar UU$235 juta transaksi dihasilkan Harbolnas pada tahun 2016 lalu.
Terus meningkatnya transaksi peminat harbolnas merupakan suatu simbol baru bagi konsumen dan aktivitas belanja. Simbol Harbolnas dan tawaran diskon hingga 90% menghadirkan ketertarikan tersendiri. Atas ini, kita seakan semakin wajib belanja.
Masyarakat konsumsi memang cenderung mengomsumsi sesuatu tanpa memiliki “independensi” atas kebutuhannya, demikian kata Pemikir asal Prancis, Jean Baudrillard. Kehidupan modern, yang konon merupakan kehidupan kita kini, tidak lagi digerakkan oleh kebutuhan dan tuntutan personal.
Kini, kehidupan kita digerakkan oleh simbol-simbol yang membentuk tatanan atau aturan, sistem tertentu. Sistem ini kemudian diakui bersama sebagai sesuatu yang lumrah atau ” memang sudah seharusnya”. Atas ini, sebenarnya, kita kehilangan kemerdekaan, “independensi”, untuk menyadari kebutuhan kita.
Belanja karena Harbolnas dan diskon merupakan sebuah “kesadaran palsu” atau “kehilangan independensi” yang dikonstruksikan oleh simbol-simbol ekonomi tersebut. Banyak orang bergerak berbelanja karena (seolah-olah) sepakat bahwa Harbolnas adalah waktu yang tepat untuk berbelanja.
Kegiatan berbelanja ini “diprakarsai” oleh diskon yang memberikan harga yang lebih murah dibanding hari yang lain. Padahal, barang yang dibeli karena diskon itu, bukanlah barang yang benar-benar dibutuhkan.
Contoh sederhana, yang terjadi pada MN (23 tahun). Ia mengaku di hari Harbolnas 12 Desember 2017, ia memesan beberapa kosmetik. Ketika ditanya mengapa membeli, alasannya karena diskon.
“Saya pesan itu make-up karena diskon 52%,” ujar MN.
Ketika ditanya perihal kebutuhan barang yang dia pesan, ia mengaku bahwa sebenarnya masih memiliki barang tersebut, tapi membelinya karena diskon.
“Sebenarnya masih ada punyaku, tapi kapan lagi ada diskon sebesar itu. Beda sekali kalau kita beli di hari-hari lain,” ungkapnya.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa manusia memang kehilangan independensi untuk menentukan kebutuhannya, sebagaimana ungkap Baudrillard. Ritual Harbolnas menjadi sebuah tatanan baru yang diaminkan orang sebagai hari untuk berbelanja. Tapi, perlu ditegaskan, tak ada yang salah dengan berbelanja, tetapi berbelanja barang yang benar-benar dibutuhkan.
Sementara itu, E-commerce dengan lapak-lapak daring yang menyajikan barang-barang diskon hingga 90% dan testimoni menggiurkan, benar-benar menggeser tradisi gila belanja masyarakat kita.
Jika dahulu, masyarakat diarahkan untuk berbelanja karena iklan, kini masyarakat diarahkan untuk berbelanja dengan (seolah-olah) kesepakatan bersama melalui sebuah hari yang kita sebut Harbolnas.
Dan Harbolnas, tampaknya merupakan pemanfaatan para pelaku usaha terhadap fanatisme kita terhadap momen-momen penting. Di hari Kelahiran Pancasila, kita ramai-ramai menuliskan #SayaPancasilaSayaIndonesia. Di hari Kemerdekaan, kita merayakan dengan berbagai lomba dan aktivitas hias-menghias. Di hari Anti Korupsi Sedunia, mahasiswa dan ormas turun ke jalan atau menggelar seminar.
Selanjutnya, fanatisme ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha dengan menggagas Harbolnas yang kemudian dirayakan dengan berbelanja. Maka, lestarilah pemaksaan diri kita untuk belanja. Gilanya, kita belanja untuk sesuatu yang entah untuk apa, bukan kebutuhan kita.
Dan semakin kayalah para kaya, dan semakin pura-pura baik-baik sajalah kita yang terpaksa belanja. Selamat Harbolnas! Kita ada, maka kita belanja!
Jerat Simbol Diskon dan yang Laten di Harbolnas
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…