POROSMAJU– Berbondong-bondong manusia perkasa Indonesia bergumul demi bangsa. Paruh baya, ibu muda, hingga nona-nona berkumpul pada tanggal 22–25 Desember 1928, di Yogyakarta. Manusia-manusia tangguh itu menghelat forum dengan nama “Kongres Perempuan Pertama”.
Perempuan-perempuan itu berbagi gagasan untuk memerdekakan bangsa dan kaumnya. Padahal, masa itu, kolonial sedang ganas-ganasnya. Pemikiran bahwa perempuan takbisa pergi jauh juga masih meraja di kepala kebanyakan anak bangsa. Tapi, para Hawa luar biasa itu tetap saja bicara lantang: bangsa merdeka, perempuan pun harus merdeka!
Tulisan Bonnie Triyana, di Historia, yang berjudul “Hari (Perjuangan) Ibu”, menyebut faktor pendorong pelaksanaan kongres tersebut memang adalah kehidupan perempuan yang masih terpenjara kultur patriarki.
Kultur yang menistakan perempuan ini berdiri di atas nilai-nilai feodal. Penyebab lainnya, kesadaran harus mengakhiri ketertindasan perempuan yang semakin memilukan akibat tindak bejat para kolonial.
Selain itu berdasarkan pengakuan Sujatin, salah seorang penggagas kongres tersebut, dalam tulisan Bonnie, kongres ini juga dilaksanakan dalam rangka perjuangan bangsa. Betapa hebatnya!
Terlaksananya Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 membuat Sujatin dan kawan-kawannya berpikiran untuk turut menghelat kongres. “Pertemuan antarwanita se-Indonesia demi persatuan nasional,” ungkap Sujatin.
Kongres Perempuan Pertama ini harus diakui sebagai forum bergumulnya loncatan-loncatan pemikiran perempuan Indonesia. Betapa tidak, di zaman yang belum se-“anu” sekarang, mereka, dalam kongres itu, sudah membincang perihal reformasi undang-undang pernikahan Islam. Dibincang pula perihal perkawinan anak-anak, sampai tercetusnya gerakan antipoligami. Wow!
Bisa dikatakan, tindak perempuan-perempuan angkatan 20-an itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa perempuan hanya bisa dengan segala hal domestik rumah tangga. Perempuan tidak hanya menyapu lantai, menggosok pakaian, sampai hanya pasrah ketika dipaksa nikah oleh Bapaknya. Ups! Maka, dengan meninjau sejarah kerennya para perempuan ini, tampaknya kesedihan harus hadir tatkala meninjau tradisi masyarakat setelahnya.
Ini penyebab kesedihan pertama. Konon, saat cibir para perempuan Indonesia terhadap Soekarno yang memadu Ibu Negara Fatmawati, presiden berusaha merebut kembali simpati para perempuan Indonesia, memperbaiki citra.
Cara yang ditempuh, ya, dengan menjadikan momentum bersejarah 22 Desember, hari pertama pelaksanaan Kongres Perempuan Pertama sebagai peringatan Hari Ibu bagi bangsa Indonesia. Tapi, ini hanya rumor ya!
Penetapan hari peringatan ini resmi dengan keluarnya Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Beruntung, sesuai dekrit tersebut, peringatan Hari ibu untuk mengenang tindak keren perempuan Indonesia yang turut berupaya memerdekakan bangsa dan memperbaiki kehidupan kaum perempuan agar terbebas dari patriarkisme dan penindasan lainnya.
Akan tetapi, mirisnya, penyebab kesedihan selanjutnya, perempuan-perempuan kini, juga yang bukan perempuan, malah terjebak dalam salah kaprah perihal peringatan Hari Ibu.
Terlebih sejak media sosial teramat gandrung, masyarakat Indonesia malah menjadikan momen Hari Ibu untuk menyanjung dan memuja-muji Ibu mereka yang telah rela dilelahkan oleh kewajiban hanya kerja hal domestik. Hufft!
Tentu ekspresi atas Hari Ibu itu keliru dan bertentangan dengan sejarahnya yang keren. Harus digarisbawahi, Kongres Perempuan Pertama dilaksanakan untuk membebaskan perempuan dari persepsi bahwa mereka hanya wajib melakukan hal-hal domestik, menyapu, mencuci, dan memasak di rumah.
Sementara kini, masyarakat, parahnya para perempuan masa ini pun, malah membalikkan dengan memuja keterpaksaan Ibu (perempuan) berkutat dengan hal-hal domestik tersebut.
Di status Facebooknya, disanjunglah Ibu yang telah rela berlelah-lelah membesarkannya dan berhenti dari kantornya. Di Instagram, diunggahnya foto bekalnya yang merupakan masakan Ibunya sambil ditulisi caption “Thanks mom for bekal ternikmat ini di setiap hari sejak sekolah sampai kini, selamat hari ibu #greatmom #supemom #thanksmom #motehrsday”. Semua serba kerja domestik perempuan!
Karena itu, kiranya, ada baiknya, jika penamaan peringatan atas tanggal 22 Desember itu bukanlah Hari Ibu. Mungkin, nama peringatan tersebut, lebih tepatnya dinamakan dengan ” Hari Perjuangan Perempuan”, “Hari Keperkasaan Perempuan”, atau”Hari Kesaktian Perempuan”.
Hal ini untuk mencegah salah kaprah yang bertentangan dengan spirit peringatan 22 Desember semestinya. Tapi, tentu, ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa hormat kepada Ibu yang keren selalu!
Maka, ah, 22 Desember bukan Hari Ibu seperti yang kau pikirkan! (Zulfikar Hafid)