POROSMAJU– Siapa sangka, di zaman Kolonial Hindia-Belanda, ternyata ada Komisi Antialkohol. Komisi ini dibentuk karena kecemasan masyarakat dan Pemerintah Hindia Belanda akan maraknya alkohol.
Akan tetapi, pemerintah kolinial tidak melihat soal alkohol sebagai persoalan moral belaka, tapi juga ekonomi. Kolonial geram akibat maraknya beredar alkohol ilegal. Akhirnya, Departemen Keuangan Hindia Belanda berambisi meningkatkan pungutan cukai impor minuman keras.
“Arak gelap dapat berarti arak yang dibuat secara tidak sah menurut ketentuan hukum. Dapat pula berarti arak selundupan, termasuk dalam hal ini arak yang digelapkan dari sebagian arak legal,” tulis Kasijanto dalam penelitiannya Industri Rumah Tangga di Sekitar Pabrik: Penyulingan Arak di Beberapa Kota di Jawa sekitar 1870-1925, sebagaimana dimuat Historia.
Selain masyarakat dan Pemerintah Kolonial, organisasi politk juga ambil peran. Sarekat Islam (SI) memasukkan ihwal minuman keras dalam agenda kongres pada 1915. SI menyerukan pemerintah membuat undang-undang yang melarang semua elemen, terkhusus, pribumi, meminum minuman keras.
Hal yang membuat SI geram, ternyata banyak haji yang turut menjadi pengedar miras. Atas fakta ini, SI sangat terpukul.
“Organisasi itu tampak terpukul sebab dikabarkan terdapat sejumlah haji yang ikut berbisnis minuman keras itu,” tulis Kasijanto.
Muhammadiyah juga turut bersuara. Pada tahun yang sama, organisasi yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ini juga mengusulkan agar pemerintah memberlakukan monopoli perdagangan minuman keras.
Budi Utomo (BU) turut ambil peran dengan menekan pemerintah agar membatasi tempat penjualan miras serta menaikkan harganya. Bahkan, BU mengimbau masyarakat untuk memilih pejabat atau pemimpin yang “bebas alkohol”.
Respons atas maraknya miras juga datang dari organisasi lainnya. Perhimpunan Bupati Sedya Mulya bahkan mendirikan suatu perkumpulan antialkohol. Organisasi spiritual Jawa, Mimpitu, bahkan menetapkan alkohol sebagai “tujuh kejahatan dalam diri manusia” dan kewajiban manusia untuk menaklukkannya.
Mimpitu menetapkan syarat bagi anggotanya untuk berikrar “satu tahun lamanya saya (anggota) tidak akan minum arak, atau bir, atau anggur, atau lain-lain minuman yang dapat memabukkan.”
Sebagai respons, sejak 1914, pemerintah membuat peraturan yang memperketat usaha rumah-rumah minum (herbergkeur). Tidak hanya itu, kedai kopi hingga warung pinggiran juga kena regulasi.
Aturannya, hanya boleh menjual minuman keras tiga liter setiap jam buka dan harus memperoleh izin dari polisi. Diberlakukan pula jam malam, rumah-rumah minum harus tutup pukul satu dini hari. Pemerintah juga melarang penjualan di jalan besar dan permukiman.
Empat tahun kemudian, pemerintah membentuk komisi penanggulangan alkohol (alcoholbestrijding commisie).
“Komisi ini ditugasi untuk ‘memerangi’ masalah-masalah yang timbul sebagai dampak dari penggunaan (terutama penyalahgunaan) alkohol di Hindia Belanda,” tulis Kasijanto.
Dalam laporannya, komisi mengemukakan bahwa agen polisi yang ditugaskan di daerah “gelap” tersebut terkesan lemah dan cenderung malas menjalankan tugas.
Sebagai simpulan, komisi menilai penggunaan minuman keras telah meluas dari berbagai kalangan, dari perkampungan sampai kota. Kawasan prostitusi juga merupakan sarang penjualan minuman keras ilegal atau arak gelap.
“Repotnya lagi seringkali para pemilik atau pengunjung kedai ‘kenal’ dengan agen-agen polisi yang bertugas di daerah itu. Dalam keadaan seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi sikap ‘tahu sama tahu’.”
Selama 1900-1925, upaya membasmi peredaran minuman keras ilegal terus dilakukan. Namun, tulis Kasijanto, “arak gelap ini ibarat ‘penyakit kronis’ yang dibunuh satu, muncul yang lain.”
Bagaimana dengan sekarang?
Di Zaman Belanda Ada Komisi Antialkohol, Kalau Zaman Now?
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…