POROSMAJU.COM, Bulan Desember kemarin, katakanlah saya berkunjung ke suatu tempat di mana orang-orang dari beragam etnis dan suku berkumpul dan bercakap secara intens.
Ketika tahu bahwa saya adalah Bugis-Makassar, pertanyaan yang muncul tidak begitu beragam, “perempuan Bugis-Makassar itu ‘mahal’, ya?”
Jawab dengan senyuman saja sebab demikianlah hikmah yang mereka petik sehabis menonton film Uang Panaik yang rilis di bulan Agustus 2016.
“Suku lain mesti tahu kalau sebenarnya penetapan uang panaik itu sebagai alasan politis di masa silam.
Mereka ingin menjunjung tinggi martabat seorang perempuan Bugis-Makassar.
Sederhananya, mereka ingin mengatakan kepada suku lain terkhusus laki-laki di suku apa pun agar tidak bermain-main dengan perempuan Bugis-Makassar”,
“Silariang pun sebenarnya adalah sebuah identitas dari segi kerasnya hukum adat” tambahnya.
Demikianlah pendapat Suaib Syamsul selaku sutrdara Silariang pada ajang pentas tahunan Pementasan Teater Jurusan Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar tahun 2015.
Film Silariang garapan sutradara Wisnu Adi yang akan rilis di bioskop pada tanggal 18 Januari mendatang kini mulai memanas.
Pasalnya, film yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama ini seolah ingin menyambung kesuksesan film berlatar budaya Bugis-Makassar sebelumnya.
Setelah perempuan Bugis-Makassar yang “mahal”, Apa lagi?
Menggandeng Bisma Karisma yang berperan sebagai Yusuf dan Andania Suri sebagai Zulaikha, sejak awal pembuatannya film ini seolah menyedot animo masyarakat.
Terutama bagi mereka yang tertarik dengan keragaman budaya Bugis-Makassar.
Jalan cerita dari film Silariang versi kedua ini (versi pertama rilis sejak November 2016) seolah ingin menegaskan kerasnya hukum adat yang diberlakukan masyarakat Bugis-Makassar,
taruhannya adalah nyawa adalah salah satu kutipan yang sempat dituturkan Zulaikha ketika diajak kawin lari oleh Yusuf.
Hal ini sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto, Lektor Kepala Sosiologi dan Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Menurutnya, kebudayaan sebagai kekuatan yang tidak tampak (invisible power) yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu
Untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan sistem pengetahuan dan gagasan yang sudah menjadi milik masyarakat tersebut.
Silariang sebagai wacana solutif
Perspektif tentang kerasnya adat adalah pilihan lain, beberapa orang bahkan berpendapat bahwa silariang adalah sebuah solusi.
“Gimana kalau cowok merasa keberatan karena orang tua cewek minta nominal besar, akhirnya mereka memutuskan kawin lari”, tulis pemilik akun @saarah.sr dalam akun media sosialnya yang secara tidak langsung membenarkan bahwa silariang adalah solusi.
Tapi di sisi lain orang-orang juga beranggapan bahwa silariang bukan jalan satu-satunya.
“Aku sih nggak setuju sama kawin lari. Mending dinegosiasiin lagi kalo keberatan nominal uang panaiknya ketimbang bikin masalah baru”, tutur pemiik akun @giftaoktavia
Saya membayangkan ke depannya ketika berkunjung ke tempat yang serupa harus menerangkan siri’ na pacce secara fasih ketika mereka memiliki perspektif bahwa silariang sebagai wacana soutif.
“Kalau uangku nggak cukup, kamu mau nggak diajak silariang?” Tapi jika pertanyaan seperti ini yang muncul, izinkan saya kembali menjawabnya dengan senyuman (Kartini).
Home
Berkhas
Menebak Perspektif Khalayak tentang Budaya Silariang Selepas Keramaian 18 Januari 2018 Nanti
Menebak Perspektif Khalayak tentang Budaya Silariang Selepas Keramaian 18 Januari 2018 Nanti
Admin3 min read