POROSMAJU.COM, Belakangan, isu LGBT selalu diikuti perlakuan diskriminatif dengan landasan agama dan moral. Alasannya jelas, beberapa perilaku perbedaan orientasi seksual ini, katanya, meresahkan dan menganggu ketentraman masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, pada tanggal 3 Maret 2015, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyerukan berbagai hukuman untuk para kaum homoseksual, dari cambuk hingga hukuman mati.
Pertanyaannya, apakah semua perilaku yang dianggap menyimpang oleh masyarakat itu meresahkan?
Padahal terdapat dalam Sila ke-2 dan ke-5 berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal yang sama juga tertuang dalam UUD 1945 pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan.
Keresahan saya yang paling utama adalah ketika masyarakat terlalu latah memaknai seks dan gender. Beberapa orang bahkan mengklaim sebelum megetahui, mengetahui tanpa membaca, dan membaca tanpa memahami.
Sederhananya seperti ini, seks adalah orientasi jenis kelamin, sementara gender adalah pengaplikasian sikap yang menggambarkan orientasi seks itu sendiri.
Sebenarnya, kebudayaan asli Sulawesi Selatan meyakini lima gender yaitu Orowane (Lelaki), Makkunrai (Perempuan), Calabai (lelaki yang menyerupai perempuan), Calalai (perempuan yang menyerupai laki-laki), dan Bissu (bukan lelaki dan bukan perempuan).
Hasil penelitian dari Shary Graham, dalam bukunya “Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia (2007)”, mengungkapkan, suku Bugis mengakui tiga jenis status biologis (seks) yaitu perempuan (female), laki-laki (male) dan hermafrodit, dengan lima jenis gender yaitu perempuan, laki-laki, calabai, calalai, dan bissu.
Dalam hukum adat, mereka percaya bahwa bissu adalah jenis kelamin, bukan laki-laki atau pun perempuan (melainkan bissu). Pada zaman dahulu, bissu dipercayai sebagai perantara manusia dan dewa sekaligus penasihat bagi para raja.
Menjadi bissu pun tidak serta merta. Mereka harus melalui ritual panjang yang sebelumnya telah mendapatkan pesan dari Sang Ilahi. Secara keseluruhan, tata cara itu merupakan pedoman dari kitab suci La Galigo.
Para bissu tidak jarang digambarkan dan dianggap sebagai waria. Hal ini karena kesalahpahaman masyarakat awam dalam banyak sejarah dan peran bissu dalam masyarakat.
Para Bissu mengenakan sejenis gaun dan pakaian yang tidak dikenakan oleh jenis kelamin lain, namun juga memasukkan elemen dan karakter pakaian “pria” dan “perempuan”. Ini menjelaskan alasan golongan Bissu tidak dapat disebut sebagai waria. Ini karena mereka hanya diizinkan untuk memakai pakaian yang sesuai untuk kasta gender mereka.
Setelah awal abad XVII, diimpornya ajaran Islam ke Sulawesi, pembantaian besar-besaran terhadap bissu pernah terjadi. Ini terjadi saat pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kahar Mudzakar. Bissu–bissu ini dibunuh, serta dipaksa untuk menjadi laki-laki sejati sesuai ajaran agama yang para DI/TII yakini. Sejak saat itulah peran bissu mulai tidak terlalu diperhitungkan.
Hingga saat ini, jumlah bissu semakin berkurang karena posisi mereka tidak lagi sepenting dahulu. Hal ini pun diyakini sebagai dampak dari perkembangan zaman dan orientasi keagamaan.
Namun, mestikah peran bissu ditiadakan? Sementara bissu dalam masyarakat Bugis tradisional tidak secara eksklusif berhubungan dengan anatomi tubuh mereka, tetapi peran mereka dalam kebudayaan Bugis. Merekalah yang bertugas menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat Bugis yang asli agar tidak punah.
Ah, semoga kita bisa memaklumi itu sebagai kesepakatan bersama, budaya! (Kartini)
Perihal Bissu; Jangan Latah, Ini Berat, Biar Mereka Saja!
