POROSMAJU.COM, MAKASSAR- Sekitar empat abad yang lalu, Sulawesi Selatan sebagai sebuah daerah majemuk mengalami peristiwa yang melahirkan banyak catatan hingga kini. Tepatnya pada abad ke-17, sebuah perang antara Sultan Hasanuddin dari kerjaan Gowa dan Arung Palakka dari kerjaan Bone berkobar.
Perang tersebut kemudian menjadi salah satu tonggak sejarah geopolitik Sulawesi Selatan saat ini. Selama ini, orang beranggapan bahwa perang Gowa dan Bone merupakan representasi dari perang suku Makassar melawan suku Bugis.
Hal tersebut dianggap kurang tepat oleh Leonard Y. Andaya. Sebagaimana dalam buku yang bejudul “Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abda ke-17 (2004)”, Leonard menjelaskan, perang tersebut merupakan murni sebagai perang sekutu kerajaan Gowa melawan sekutu kerajaan Bone.
Perihal sekutu kerajaan, merujuk pada Perang Makassar 1666-1669, Leonard menyebut, Gowa bersekutu dengan kerajaan Wajo, Luwu, Bulo-Bulo, Lamatti, dan konfederasi kerjaaan Mandar.
Sementara itu, Bone yang juga menjadi salah satu poros kekuatan yang ada di Sulsel bersekutu dengan Soppeng dan beberapa kerajaan Bugis lainnyam Menariknya, ternyata Bone didukung oleh wilayah Turatea yang notabene merupakan sebuah daerah suku Makassar.
Kerajaan Luwu yang menjadi sekutu Gowa, tidak lahir dari sebuah penaklukan, sebagaimana citra Kerajaan Gowa hadir sebagai kerajaan yang melakukan penaklukan untuk menyebarkan Islam saat itu. Keputusan politk Luwu ini lahir akibat citra Gowa sebagai salah satu kerajaan tempat Islam berkembang.
Sebenarnya, saat itu, dapat dipahami Gowa dan Luwu banyak kemiripan. Terutama, kemiripan keduanya yaitu Luwu dan Gowa berandil besar dalam penyebaran Islam dengan perang.
Setelah empat abad yang berlalu, dengan berbagai dinamika yang terjadi di Sulsel, kita dapat menarik sebuah simpulan yang mirip saat ini. Melalui politik yang dinamis, batas-batas kesukuan hilang dan menjadi sebuah penggabungan kekuatan demi tujuan politik.
Kini, lahir empat pasang calon kontestan pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan 2018 dengan berbagai macam gerbong politik.
Nurdin Abdullah yang berpasangan dengan salah satu putra terbaik Bone, Andi Sudriman Sulaiman. Kemudian, Nurdin Halid yang juga merupakan seorang figur di Bone berpasangan dengan salah satu putra daerah asal Luwu, Andi Qahhar Mudzakkar.
Demikian halnya dengan Ichsan Yasin Limpo yang merupakan putra daerah Gowa, berpasangan dengan putra daerah Luwu, Andi Mudzakkar. Kemudian, ada pasangan dengan poros lain yaitu, Agus Arifin Nu’mang dari Sidrap yang sudah menjadi figur di Sulsel, berpasangan dengan Tanribali Lamo yang juga merupakan putra daerah Bone.
Dinamisnya komposisi dari keempat pasangan ini menunjukkan bahwa ada sebuah pola lama yang diyakini. “Persekutuan” merupakan sebuah bentuk yang efektif untuk membentuk suatu kekuatan. Jika dahulu adalah kekuatan politik perang, saat ini adalah kekuatan politik massa/konstituen.
Hal kedua yang menarik adalah, di antara Bone dan Makassar, ada Luwu sebagai sebuah kekuatan lain, sebagaimana dalam Perang Makassar pada abad ke-17. Hal ini terlihat jelas dengan keputusan politik Nurdin Halid dan Ichsan Yasin Limpo mengambil pasangan dari daerah yang sama.
Diketahui, Aziz Qahhar Mudzakkar dan Andi Mudzakkar, keduanya merupakan tokoh Luwu yang menjadi reprsentasi dari masyakat Luwu. Hal ini menunjukkan bahwa Luwu menjadi salah satu bagian penting dalam konstalasi politik Sulsel.
Politik mungkin sesuatu yang cair dan serba dinamis, hanya saja, selalu ada pola yang sama mengingat persebaran geopolitik Sulsel yang tidak terlalu berubah. Setiap kandidat memiliki basis wilayah konstituen yang menjadi daerah politiknya.
Pilgub Sulsel 2018 dengan aroma abad ke-17 tentu menjadi salah satu pertarungan politk yang menarik dinantikan hasil akhirnya.
Pilgub Sulsel dan Aroma Perang Abad 17
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…