POROSMAJU.COM– Pappaseng merupakan sebuah wujud petuah yang dikemukakan para ahli bicara dan penasihat raja di zamannya. Di dalam sejarah Bugis, dikenal banyak orang cendikia dengan banyak petuah yang masih relevan hingga kini.
Di kalangan Bugis, selain cendekia Kajaolaliddo, Petta Maddarenge, dan Arung Bila, salah satu nama yang juga mampu bersanding dengan mereka adalah seorang bagsawan Bugis yang bernama Petta Matinroe ri Tanana.
Petta Matinroe Ri Tanana, sebagaimana dalam buku “Latoa (1985)” tulisan Mattulada, memberikan petuah kepada anak cucunya perihal pangkaukeng (sifat) seseorang dalam kehidupan sehari hari.
Dalam paparan Mattulada, disebutkan bahwa Petta Matinroe ri Tanana menyebutkan bahwa jika ada gerak dalam angan-anganmu, lihatlah kepada sesudahnya, kerena gerak ada dua macam, yaitu gerak baik dan gerak yang buruk.
Kalau itu adalah gerak baik, maka segeralah melakukannya. Semoga engkau ditolong oleh Allah sehingga segera terwujud. Jika itu gerak yang buruk, maka bermalas-malaslah, semoga engkau mendapatkan pertolongan sehingga keburukan tersebut tidak terjadi dan kau dapat terhindarkan.
Pesan tersebut tentu saja relevan dengan konsep keberagamaan bahwa segala sesuatu sangat bergantung pada niat. Niat menentukan arah perilaku dan tindakan seseorang.
Petta Matinroe ri Tatanana juga berpesan soal segala macam perbuatan yang ada di dalam diri manusia. Disebutkan bahwa, ada empat macam perbuatan dalam batang tubuh kita. Pertama, karsa (pikiran); kedua, wicara; ketiga, siriq (harga diri); keempat yaitu perbuatan yang baik.
Meski di dalam tubuh manusia ada empat sifat utama itu, akan tetapi lebih lanjut, Petta mengingatkan bahwa hal tersebut mungkin saja hilang jika dibarengi dengan sifat lain yang mengarah keburukan.
Disebutkan bahwa hal yang dapat meniadakan karsa (pikiran) yaitu orang yang suka kemarahan. Kemudian, hal yang dapat meniadakan wicara (bicara yang baik) adalah perbuatan sewenang-wenang.
Sementara itu, sesuatu yang dapat meniadakan siriq (harga diri) adalah kelobaan (serakah), dan yang dapat meniadakan perbuatan baik adalah menjelek jelekkan sesama manusia.
Jadi, selain memikirkan hal yang menjadi sifat hakiki manusia, Petta Matinroe ri Tanana juga mengingatkan hal yang memungkinkan sifat dasar tersebut hilang dari diri manusia. Hal ini tentu saja menjadi sebuah petuah yang “lengkap” dan masih relevan hingga kini.
Kemarahan, keserakahan, dan tindakan sewenang-wenang, dan tentu saja caci-maki menjadi hal yang dapat menimbulkan perpecahan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat jelas bahwa visi dan pemikiran orang-orang cendikiawan terdahulu mampu menembus zaman kekinian.
Selain itu, Petta Matinroe ri Tanana juga mengingatkan bahwa hal baik itu terbit dari kejujuran. Ada pun kejujuran dikasihi Allah dan disukai oleh orang di dunia. Kita sering mendengar kata, kejujuran adalah mata uang yang diterima di manapun. Secara sederhana, seperti itulah yang dimaksud oleh Petta Matinroe ri Tanana.
Bercermin dengan Petuah Petta Matinroe ri Tanana
