POROSMAJU.COM– Menyoal tentang adat pernikahan Bugis-Makassar, secara spontan, orang-orang hanya akan mengurai perihal uang panaik sebagai penunjang kelas sosial. Padahal, terdapat rangkaian yang kadang terlewatkan namun menarik untuk dibahas keriuhannya.
Keriuhan yang dimaksud adalah ribut-ribut keberhasilan sehubungan dengan ikut naiknya derajat sosial penyelenggara resepsi.
Selepas tawar menawar uang panaik di acara penetapan hari baik (mappannessa), selanjutnya, keriuhan akan berlanjut. Hal-hal politis lain yang terjadi misalnya pada teknis pembuatan dan penyebaran undangan.
Orang Bugis-Makassar punya standar tertentu dalam mengundang tamu yang diharapkan hadir. Bagi mereka dengan hubungan kekerabatan yang cukup dekat, sistem mengundang yang diterapkan adalah penyampaian secara lisan (mappada).
Sementara bagi mereka dengan jarak tempat tinggal yang sulit dijangkau dengan berjalan kaki, biasanya diundang dengan selembar undangan. Ada pun mereka yang bergelar bangsawan, secara khusus akan mengantarkan undangan kepada sesama bangsawan (mappadak puang), lengkap dengan pakaian adat (baju bodo).
Desain sampul undangan pun didesain serupa amplop. Semacam ‘kode’ agar tak lupa menyelipkan selembar-dua lembar rupiah sebagai sumbangan (passolok). Bagi mereka dengan status sosial yang lebih tinggi, biasanya desain amplop yang indah, semacam penegasan bahwa sumbangan tidak lebih penting dibanding kehadiran tamu.
Hal menarik lain sehubungan dengan hal tersebut adalah pada sesi buka amplop selepas rangkaian resepsi. Biasanya, beberapa orang akan mencatat nama dan jumlah sumbangan (di sebuah buku atau sebatas ingatan), agar sewaktu-waktu dapat dikembalikan dengan jumlah yang setidaknya setara.
Pada bagian ‘turut mengundang’, di barisan paling atas diletakkan nama tokoh masyarakat atau fungsioner pemerintahan yang dianggap cukup terpandang. Sementara itu, orang yang dimaksud tidak memiliki tanggung jawab penuh atas keberhasilan acara, ia hanya datang sekali sebagai bentuk wibawa dan selanjutnya menyumbangkan sejumlah dana atau kebutuhan konsumsi selama acara berlangsung.
Selanjutnya, jelang hari pelaksanaan, para perempuan akan sibuk menyiapkan beberapa penganan khas sekaligus modern. Semakin banyak jumlahnya, semakin baik citranya.
Semakin banyak jumlah dan jenis penganan, semakin banyak jumlah tenaga yang dibutuhkan. Oleh karena itu, semakin besar pula kemungkinan-kemungkinan mereka berkumpul, mengobrol, dan bergosip. Di bagian inilah yang sayang untuk dilewatkan.
Sejalan dengan itu, Susan Bolyard Millar menuliskan dalam bukunya yang berjudul “Perkawinan Bugis (2009)”, bahwa fungsi tamu dalam sebuah resepsi yaitu sebagai tukang gosip dan hakim yang menilai semua orang yang hadir.
Ini sebab, sebenarnya, para tamulah yang meletakkan makna sebuah pesta perkawinan. Status dan harga diri lebih banyak bergantung pada persepsi orang lain, khususnya di pesta perkawinan.
Mereka (tamu) akan memerhatikan sajian makanan, tamu yang datang, serta mengamati suasana sekitar sambil meletakkan piring kotor di bawah meja oshin.
Menilai sekaligus membandingkan. Rentetan acara yang kian hari makin redup disertai dengan makin riunya ‘penilaian’ para mantan tamu.
Seperti ungkapan yang tidak asing bagi telinga Bugis; “nakko elokko nicarita, mebbu bawanno acara (Jika ingin menjadi bahan pembicaraan, selenggarakanlah saja sebuah resepsi).”
Terdengar berlebihan memang, tapi semua pihak menerimanya sebagai bentuk kewajaran, tidak perlu dipertanyakan (Kartini).
Oh Bugis, "Jika Ingin Jadi Bahan Pembicaraan, Buatlah Hajatan!"
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…