POROSMAJU.COM, MAKASSAR, Budaya merantau merupakan salah satu tradisi yang melekat di kalangan Bugis-Makassar. Banyak warga dari Sulawesi Selatan mencoba peruntungan dengan menjelajahi daerah demi daerah di luar Sulsel.
Motifnya beragam, ada yang ingin memperbaiki perekonomian, mencari pengalaman, menambah pengetahuan, dan ada juga karena kecewa atau pun bermasalah di kampung halaman.
Etnis Bugis-Makassar dikenal sebagai salah satu etnis yang memiliki keberanian untuk merantau. Di setiap daerah, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri, terkadang ditemukan kelompok-kelompok Bugis-Makassar yang bermukim.
Meski budaya merantau merupakan budaya yang lazim sejak dahulu kala, terutama dalam penyebaran agama, akan tetapi salah satu penyebab utama banyaknya warga Bugis-Makassar merantau dikarenakan perang dan kondisi sosial Sulsel pada abad ke-17.
Kondisi sosial abad ke 17 mungkin bukan menjadi satu-satunya faktor, akan tetapi tentu menarik untuk menyelisik sejarah abad 17 sebagai bagian dari penyebab perantau masyarakat Sulawesi.
Terekam dalam tulisan Leonard Y Andaya yang berjudul “Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke 17 (2004)”, pada tahun 1669, jatuhya Somba Opu ke tangan Arung Pallaka serta adanya bangsawan Makassar yang berperang di bawah perintah Arung Palakka, menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan di Gowa.
Selain itu, Benteng Rotterdam juga diperkuat oleh Belanda dan beberapa rumah ditempati Arung Palakka. Bahkan, rumah turun-temurun Karaeng Pattingalloang dan Karaeng Karunrung di Bontoala ditempati Arung Palakka.
Sementara itu, Belanda menduduki bekas benteng Makassar. Hal ini tentunya sangat menekan masyarakat kerajaan Gowa. Lenonard menyebutkan, banyak pangeran dan bangsawan tidak rela menerima celaan dan penalkukan tersebut.
Dampaknya, mereka memutuskan untuk keluar dari Sulsel bersama dengan pengikut setianya. Demikian halnya di Bugis yang menjadi sekutu kerajaan Gowa yaitu kerajaan Wajo.
Pada akhir 1670 penghancuran total Tosora dan penghancuran sistematis daerah pinggiran Wajo membuat mereka melakukan perantauan. Peristiwa yang terjadi sekitar akhir tahun 1670 tersebut membuat perubahan demografi penduduk yang mencolok.
Motif mereka merantau tentunya adalah untuk menghindari tekanan penguasa, dalam hal ini, Arung Palakka. Jika sebelumnya mereka masih memiliki banyak pilihan untuk berlindung di kerajaan tetangga, jangkauan kekuatan penguasa membuat mereka sulit mendapatkan perlindungan jika masih tetap berada di Sulsel.
Tak ada jalan lain, bangsawan, pengikut setianya, dan masyarakat Bugis-Makassar yang tertekan kemudian memilih merantau ke pulau-pulau sekitarnya. Jawa, Kalimantan, Bima, dan berbagai pulau kecil yang dapat mereka jangkau menjadi tempat mereka berlabuh.
Banyaknya kalangan bangsawan seperti, Karaeng Tallo Sultan Harun Arrasyid Tumenanga ri Lampana, Karaeng Galesong, Daeng Manggappa, Karaeng Bontomarannu, dan Daeng Tulolo merupakan nama-nama yang melakukan perantauan di berbagai tempat.
Awalnya, mereka merantau untuk menyusun kekuatan dalam perencanaan merebut kembali kerajaan Gowa. Hanya saja, masalah demi masalah dihadapi kelompok mereka.
Meski pemerintah setempat kadang menerima mereka, tetapi terkadang terjadi perselisihan yang membuat mereka harus berpindah tempat.
Kabar tentang perantau Makassar yang mencoba membentuk kekuatan dalam rangka merebut kembali Gowa terdengar hingga Sulsel. Arung Palakka berulang kali meminta mereka untuk kembali namun selalu berujung penolakan.
Akhirnya, sebagaimana disebutkan Leonard, pada tahun 1678, Arung Palakka bersama pasukannya yang dibantu kompeni mengarungi tanah Jawa. Tujuannya tentu saja membuat perantau tersebut kembali ke kampung halaman.
Terjadilah peperangan. Banyak korban yang berjatuha, termasuk beberapa bangsawan Makassar akibat peperangan tersebut.
Para perantau takmempu membendung kekuatan Arung Palakka. Ini mengharuskan mereka menuruti kemauan Arung Palakka untuk kembali ke Makassar.
Akan tetapi, di dalam proses tersebut, masih banyak perantau yang berhasil melarikan diri bahkan menjadi pengikut pemeritah setempat. Mengutip catatan De Graaf, Leonard menyebutkan, diperkirakan sekitar 4000 pengungsi masih berada di Jawa Timur saat ribuan lainnya sudah kembali ke Makassar. Belum lagi daerah-daerah lain yang tidak teridentifikasi jumlahnya.
Sebuah catatan yang menarik dikemukakan Leonard bahwa “bagi sebagian kalangan, khususnya dari Wajo dan Gowa, meninggalkan Sulawesi bukanlah “melarikan diri” melainkan pergerakan yang diperhitungkan untuk mencari sekutu di seberang lautan yang membantu mereka kembali ke negeri mereka”.
Jika kita menarik konteks zaman sekarang, motif abad 17 ini masih sering kita temukan. Banyak perantau dari Bugis-Makassar keluar untuk mencapai suatu keberhasilan.
Setelah berhasil, mereka kembali ke kampung halaman untuk “membangun” daerahnya dengan berbagai jalan. Ada yang ikut Pilkada, Caleg, mendirikan perusahaan, dan berbagai cara yang lain.
Sejarah dan Motif Perantauan Masyarakat Bugis-Makassar
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…