POROSMAJU.COM, MAKASSAR- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulsel kembali menegaskan sanksi pidana atas politik uang, baik bagi pemberi dan penerima.
Ketua Bawaslu Sulsel, La Ode Arumahi mengatakan, aturan yang ada di undang-undang Pilkada sebelumnya dan yang digunakan saat ini, memang jauh berbeda.
”Untuk sanksi pidana, paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan Rp1 miliar,” kata La Ode, Kamis, 8 Februari 2018.
Selain sanksi pidana, juga ada sanksi administratif untuk pasangan calon. Sanksi terberatnya, adalah diskualifikasi.
Paslon yang akan didiskualifikasi itu, apabila betul-betul melakukan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan massif.
”Saya sekarang konsen di dua itu, pemberi dan penerima. Kasian kita punya rakyat dipenjara gara-gara politik uang,” jelasnya.
Untuk sanksi pidana, prosesnya akan dilakukan bila ada temuan panwaslu dan bawaslu. Temuan ini dilanjutkan ke pihak kepolisian, lalu ke kejaksaan hingga diputuskan di pengadilan.
”Kalau sanksi administratif, itu dari temuan panwaslu, laporan masyarakat, atau laporan paslon lain, lalu ke bawaslu. Dan keputusan terakhirnya itu ada di Bawaslu,” ujarnya.
Jika sebelumnya, praktek politik uang hanya dikenakan sanksi bagi pemberi, kali ini, dalam UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), juga menyasar bagi si penerima.