Example 728x250
Berkhas

Mengenal Pasal-Pasal Kontroversi “Anti Kritik” DPR

114
×

Mengenal Pasal-Pasal Kontroversi “Anti Kritik” DPR

Share this article
Example 468x60

Kantor DPR-MPR RI di Senayan, Jakarta.

POROSMAJU.COM, MAKASSAR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Undang-Undang MPR, DPR, dan DPRD UU MD3 yang disahkan pada hari Senin, 12 Februari 2018. Pengesahan UU MD3 mendapatkan banyak kritikan.
Hal ini terkait dengan beberapa pasal yang dianggap sebagai “antikritik” terhadap DPR RI. Sebagai contoh, Pasal 73 UU MD3, DPR memiliki kewenangan meminta polisi memanggil secara paksa seseorang apabila mangkir dari peanggilan legislatif.
Menurut Analisis Politik dari Exposit Research and Strategic Advisory, Arif Susanto, peraturan tersebut dapat membuat DPR memanggil secara paksa seseorang, dan jika menolak hal tersebut dapat dipidanakan.
Pasal 73 Ayat 1 berbunyi
“DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR”.
Pasal 73 Ayat 2
“Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksudkan ayat 1”
Pasal 73 Ayat 2
“Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak hadir setelah dipanggil tiga (3) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Republik Indonesia”.
Demikian halnya dengan Pasal 122 huruf (K) UU MD3 yang menugaskan Mahkamah Dewan Kehormatan (MKD) memeriksan dan mengambil langkah hukum terkait pihak, kelompok yang merendahkan kehormatan DPR maupun anggota legislatif.
Pasal 122 Huruf K tentang Tugas MKD
“Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR”.
Selanjutnya ada pasal 245 UU MD3 yang mengatur aparat penegak hukum dalam pemeriksaan kasus pidana. Pasal tersebut mengatur bahwa pemanggilan anggota DPR untuk pemeriksaan terakit kasus pidana harus melalui persetujuan MKD dan baru kemudian presiden.
Pasal 245 ayat 1
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)”.
Pasal tersebut dinilai melanggar aturan hukum tentang kepatuhan semua pihak  terhadap hukum. Hal ini memungkinkan DPR melalui MKD dapat memutuskan untuk menolak pemanggilan yang dilakukan oleh penegak hukum.
 
Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *