OPINI.POROSMAJU.com – Beberapa tahun yang lalu, tepat pada tanggal 22 April 2016 bersamaan dengan hari bumi, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melahirkan suatu konsensus yang disebut Paris Agreement. Konsensus ini dibuat atas respon kritis dari beberapa negara yang memerhatikan keseimbagan ekologis yang kian hari mengalami ketimpangan hingga akhirnya memberikan perubahan iklim yang ekstrim beberapa tabun terakhir. Lahirnya konsensus ini, merupakan salah satu bentuk upaya preventif dan bentuk komitmen suatu negara agar mengurangi aktivitas yang dapat merusakan tatanan ekologis yang lebih masif lagi. Konsensus ini pun telah ditanda tangani oleh 194 negara, termasuk Indonesia.
Indonesia yang ikut terlibat dalam konsensus tersebut tidak ketinggalan untuk melakukan ratifikasi ke pranata hukum Indonesia. Urgensi untuk melindungi keseimbangan ekologis menjadi tujuan besar dalam ratifikasi ini. Indonesia sebelumnya sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang Undang Nomor 6 tahun 1994 tentang Penegseahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Sebagai sebuah negara yang wilayahnya terbentang luas, Indonesia sebagai negara hukum terbilang banyak mengeluarkan produk-produk hukum yang mempunyai semangat ekologis, sebut saja UU Lingkungan hidup, UU Minerba dan produk hukum lainnya.
Banjir dan Degradasi Ekologis
Namun, beberapa tahun belakangan ini, Indonesia kerap dilanda suatu bencana alam yang menurut banyak pemerhati lingkungan disebabkan adanya degradasi ekologis yang masif, sebut saja banjir Jakarta (2020) yang disebut banjir terparah dalam sejarah Jakarta. Aktivitas pembangunan kota yang mengesampimgkan pendekatan lingkungan membuat Jakarta menjadi daerah langganan banjir setiap tahunnya. Pembangunan yang mengesampingkan pendekatan lingkungan hidup kerap terjadi dengan tidak mengikuti kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan hanya fokus pada pendekatan ekonomi.
Begitupun juga dengan banjir Kalimantan Selatan (2021), untuk pertama kalinya dalam 50 tahun terakhir, banjir besar merendam 10 Kabupaten dan Kota di Kalimantan Selatan. Banjir yang memberikan dampak yang begitu luas kepada warga sebanyak 483.324 atau 139 537 KK, sementara total rumah terendam sebanyak 99.361 unit. Banjir yang terjadi di pertegahan januari ini menyebabkan 20 korban meninggal dunia dan 6 warga yang masih hilang. Kendati demkian. Pemerintah mengklaim bahwa curah hujan tinggi di beberapa wilayah selama 10 hari berturut-turut tidak mampu ditampung oleh Sungai Barito sehingga mengakibatkan banjir. Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik setelah curah hujan tinggi, sungai tersebut menampung air sebesar 2,1 miliar dan meluap ke beberapa kota dan kabupaten. Pernyataan ini bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya, alih alih menyalahkan curah hujan tinggi, pemerhati lingkungan dan masyarakat justru menuding aktivitas deforestasi dan penambangan sebagai biang keladi utama atas banjir ini.
Alih fungsi lahan dan pertambangan
Dalam catatan (Jaringan Advokasi Tambang) JATAM, 33 persen dari wilayah Kalimantan Selatan yang seluas 3,7 hektare telah dikuasai oleh perusahaan tambang batu bara. Sementara luasan perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen dari wilayah Kaliamantan Selatan. Seperti halnya JATAM, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memberikan analisinya terhadap banjir di Kalimantan Selatan, menurutnya, selain curah hujan yang tinggi, ada perubahan penutup lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang mengakibatkan sangat mungkin terjadinya banjir di aliran tersebut. beberapa penyebabnya diantaranya ; dalam periode 2010-2020 terjadi penurunan luas hutan primer (13 ribu hektar), penurunan hutan sekunder (116 ribu hektar), penurunan luas sawah (146 ribu hektar), dan penurunan luas semak belukar (47 ribu hektar).
Begitupun juga dengan sektor industri eksraktif pertambangan yang marak terjadi di Kalimantan. Banjir yang begitu luas terjadi, tak terlepas dari dampak eksploitasi lahan untuk pertambangan batubara, perkebunan sawit dan industri ektraktif lainnya yang merampas runag dan merusak lingkungan (TEMPO,2021). Beberapa lahan di Kalimantan Selatan karena aktivitas pertambangan dirusak dan dihancurkan sehingga daya serap dari tanah tersebut tidak berfungsi lagi. Selain itu, marakanya praktik koruptif yang dilakukan oleh pemerintah setempat dengan para pebisnis batubara memberikan akses seluas-luasnya untuk dapat melakukan aktivitas tambang yang berdampak rusak terhadap ekosistem di Kalimantan. Politik Ijon yang kerap terjadi ketika kontestasi PILKADA, memberikan peluang emas bagi para pebisnis untuk mengintervensi kebijakan politik setempat sehingga dapat memastikan industry ekstraktif batu bara mereka tetap berjalan meskipun memberikan dampak kerusakan terhadap lingkungan.
Political Will dan Komitmen Pemerintah
Pendekatan Malthus telah memberikan pengertian yang keliru terhadap keberlangsungan lingkungan sehingga hanya dijadikan objek pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang tak terbatas bagi manusia. Sebagaimana yang disebutkan diatas, terjadinya fenomena banjir tidak terlepas dari campur tangan manusia begitupun dengan bencana ekologis lainnya seperti pemanasan global, cuaca ektrem dan lainnya. Fenomena banjir yang terjadi di Kalimantan selatan telah memberikan peringatan yang keras buat kita bahwa, kelangsungan hidup dan keseimbangan ekologis harus tetap terjaga. Selain itu, Political will pemerintah diminta untuk mewujudkan keseimbangan ekosistem dengan mengeluarkan kebijakan poltik yang dapat menjaga lingkungan, sehingga negara bakal berfungis sebagai pelindung buat rakyatnya sebagaimana amanat konstitusi dalam UUD 1945.
Penulis : Multazam Ahmad Tawalla