Example 728x250
Berkhas

Musik Pop dan Menikah Muda

28
×

Musik Pop dan Menikah Muda

Share this article
Example 468x60

ilustrasi (merdeka.com)

Pertanyaannya, bagaimana mungkin seluruh jalan hidup kita bisa direpresentasikan melalui penjabaran lirik-lirik lagu dengan sederhana, menggunakan bahasa sehari-hari?
Musik pop adalah representasi keramaian perebutan makna, tempat komoditas menjadi wahana daya hayal yang bisa jadi gue banget.
Belakangan, penyajian berbagai lirik mendayu-dayu memenuhi ruang dengar kita.
Seorang lelaki memuji wanitanya, berkata bahwa ia adalah yang terbaik; berharap mereka abadi; dan kalimat-kalimat rayuan lainnya meluncur sedemikian rupa membuat setiap perempuan merasa sebagai objek.
Dan, ini membuat segenap laki-laki menemukan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaannya.
Situasi ini adalah hal yang disebut Jackie Stacey sebagai ‘kecairan temporer’ (temporary fluidity). Situasi ini merupakan pelekatan identitas atas dasar kesamaan – lagu itu untuk perempuan dan dinyanyikan oleh laki-laki – mereka mengonsumsi musik mendayu-dayu ini sambil membentuk identitas palsu, memberikan pembeda kepada diri mereka sendiri sebagai kawula muda yang ‘kekinian’.
Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Elegi patah hati
Ode pengusir rindu
Atas nama pasar semuanya begitu banal
Penggalan lagu band indie asal Jakarta ini cukup menggambarkan definisi musik pop. Efek Rumah Kaca adalah ‘kelompok minoritas’. Istilah ini diperkenalkan oleh sosiolog asal Amerika Davis Riesman, pemusik dengan genre tema pemberontakan, kritis, dan menanggalkan sisi-sisi komersialnya.
Musik pop sebagai produk komoditi dengan kedangkalan makna,  melulu tentang cinta yang mewek, dan membawa kita pada bentangan garis lurus kapitalis, sistem ekonomi modern yang menjanjikan.
Sejalan dengan itu, John Storey dalam bukunya Cultural Studies and the Study of Popular Culture menuliskan bahwa musik pop meminjam bahasa sehari-hari – klise, kata-kata yang basi, kejadian sehari-hari – dan mementaskannya dalam sebuah permainan suara dan performa yang efektif.
Seringkali kita menemukan tulisan yang dicetak tebal dengan latar gambar yang dibuat yang dibuat muram “Tuliskan lirik lagu yang menggambarkan suasana hatimu hari ini” di sudut-sudut ruang akun media sosial.
Rata-rata dari mereka yang meninggalkan balasan di kolom  komentar menuliskan lirik jatuh cinta dan patah hati,  seolah dunia ini hanya tentang cerita cinta dua manusia yang sewaktu-waktu dapat bertemu kemudian berpisah.
Seolah-olah kita dibentuk oleh struktur-struktur lirik lagu, kita didikte dan menerimanya sebagai sebuah identitas, banyak remaja yang menerimanya sebagai sikap tanggung jawab terhadap kaumnya.
Kita seolah gagal paham tentang kedangkalan makna, padahal musik pop hanya mengandalkan bunyi dan bukan kata-kata untuk menyampaikan maksud.
Penelitian yang dilakukan oleh Paul Wilis pada tahun 1978 tentang pilihan musik  rock n roll klasik pada tahun 1950an oleh kelompok motorbike boys, mendiktekan budaya maskulin dan suka ngebut, membenarkan bahwa bisa saja sebuah kebudayaan dibentuk oleh pilihan musik tertentu yang telah disediakan, diinterpretasikan secara tertentu oleh kelompok tertentu pula.
Sebagai dampak dari “menerima apa adanya”, maka jangan heran jika generasi ‘kekinian’ mengalami degradasi makna terhadap kehidupan, kepekaan sosialnya tumpul, tidak tahu apa-apa dibenarkan dengan dalih “kewajaran”.
Membaca zaman adalah keahlian, menentang peradaban butuh keberanian, mengikuti perkembangan itu perlu, terbawa arus atau membaca arus itu pilihan karena hidup adalah arena di mana makna-makna bertarung*
 
*kutipan dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma
 
Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *