Puisi itu medium, dan medium itu dukun, dukun itu telah mengusir capekku.
Sapardi Djoko Damono pelan-pelan menitipkan ke-’aku’-annya melalui novel yang terbit pertama kali di tahun 2015 ini. Melalui tokoh Sarwono, keahlian Sapardi meramu kata-kata tersalurkan.
Novel yang dicetak sebanyak enam kali di tahun yang sama tersebut, juga turut menegaskan keberhasilan Hujan Bulan Juni dalam versi kumpulan puisi yang terbit sebanyak tujuh kali di sepanjang tahun 2013–2016.
Bulan Juni termasuk kemarau jadi tidak ada hujan. Sakura bermekaran di Kyoto setiap awal April, namun berguguran seminggu kemudian.
Sarwono menuliskan tiga puisi singkat yang sore itu bertengger di sudut surat kabar. Puisi yang akan sampai ke Kyoto, sebuah medium yang akan menyampaikan rindunya kepada Pingkan. Sebab takdir telah megantarkannya ke Jepang.
Perempuan yang dikenalnya semasa SMA, Perempuan Manado yang hanya ingin menjadi Jawa, seorang Pingkan yang memilki pasangan Matindas.
Sarwono seorang asisten dosen di prodi Antropologi, kesehariannya menulis puisi untuk membahagiakan hati dan kantongnya.
Pria asal Solo yang memiliki flek di paru-parunya ini, mencintai musik klasik. Matindas bagi seorang Pingkan, namun ia tak mau mendapatkan Pingkan melalui perang antarkaum.
Demikianlah mereka membayangkan bertemu di negeri antah-berantah melalui dongeng yang selalu didengar Pingkan melalui kisah-kisah Sang ayah sebelum lelap.
Mereka saling mencintai, namun perbedaan itu selalu hadir. Ketika Pingkan berdiri di hadapan pastur maka Sarwono akan bergegas jika mendengar panggilan Bilal. Ia Menado, bukannya Jawa.
Mereka adalah sepasang burung merpati yang sudah ditakdirkan jodohnya meskipun keduanya berasal dari hutan yang berlainan.
Kisah cinta Sarwono dan Pingkan adalah representasi kecerdasan seorang penulis seperti Sapardi. Unsur kebudayaan lebur di dalamnya dengan puitis. Perjalanan cinta yang biasa ditemui di mana saja namun dengan penggambaran yang wajar. Sederhana sekaligus kaya akan pengetahuan tradisi.
Kisah cinta yang sulit disatukan itu pun hanya sebatas masalah pada hati masing-masing. Diam-diam menyedihkan, diam-diam menyimpan cerita yang haru juga membahagiakan.
Citra Sapardi sebagai seorang penulis puisi tak terelakkan, tidak dijelaskan secara pasti bagaimana kisah mereka diakhiri. Pembaca diberi kesempatan menafsirkan ending melalui tiga puisi singkat, ketika menjenguk Sarwono yang telah seminggu di rumah sakit karena paru-paru basah.
Tiga Sajak Kecil
/1/
Bayang-bayang hanya berhak setia
Menyusun partitur ganjil
Suaranya angin tumbang
Agar bisa berpisah
Tubuh ke tanah
Jiwa ke angkasa
Bayang-bayang ke sebermula
Suaramu lorong kosong
Sepanjang kenanganku
Sepi itu, mata air itu
Diammu ruang lapang
Seluas angan-anganku
Luka itu, muara itu
/ii/
Di jantungku
Sayup terdengar
Debarmu hening
Di langit-langit
Tempurung kepalaku
Terbit silau
Cahayamu
Dalam intiku
Kau terbenam
/iii/
Kita tak akan pernah bertemu:
Aku dalam dirimu
Tidakah pilihan
Kecuali di situ?
Kau terpencil dalam diriku
Hujan Bulan Juni, terlalu lebih dari, “Jangan rindu, ini berat, biar aku saja!”
Hujan Bulan Juni, Leburnya Dua Kebudayaan dengan Puitis
Read Also
PANGKEP,POROSMAJU.Com–KKN Tematik Universitas Islam Makassar mengelar sejumlah lomba…
POROSMAJU.COM, Berdasarkan data dari World Happiness Report, tingkat…
POROSMAJU.COM, Menghadapi cuaca yang tidak stabil adalah tanda…
POROSMAJU.COM- Konsumsi narkotika di kalangan remaja telah dimafhumi….
POROSMAJU.COM, Siapa yang tidak kenal susu. Minuman yang…
POROSMAJU.COM- Pertama-tama, mari memahami bahwa seks (sex) merupakan…