POROSMAJU.COM, MAKASSAR – Akar sejarah pemerintahan Bugis-Makassar sulit terlepas dari konsep Tomanurung. Secara etimologi, tomanrung berarti orang yang turun ke bumi.
Secara simbolik, sebagaimana dalam pemikiran A. Rahman Rahim dalam buku “Nila Nilai Utama Kebudayaan Bugis (2011)”, Tomanurung, meski kadang dianggap sebagai sebuah mitos, tetapi tidak terlepas dari pengalaman sosial.
Rahman meminjam pendapat seorang antropolog bernama Brinislaw Malinowski, bahwa mitos merupakan unsur terpenting dari pedaradaban ummat menusia. Mitos bukan cerita omong kosong, tetapi sesuatu kekuatan yang aktif dan tangguh.
Tomanurung sebagai sebuah simbol kebudayaan Bugis-Makassar pada akhirnya menjadi sebuah sumber utama jalur kepemimpinan. Jadi, Tomanurung selalu hadir di suatu negeri yang mengalami kekacauan dengan berbagai motif.
Akan tetapi, secara sederhana, kekacaun tersebut diistilahkan sebagai “sianre bale”, atau ‘konsep ikan’, yaitu ikan besar memakan ikan kecil, sedangkan jika ada ikan besar mati, ikan kecil akan berkerumun memakannya.
Ada banyak kisah tentang Tomanurung yang yang hadir di berbagai tempat di Sulsel. Meski berbeda tempat, kehadiran tomanurung selalu dengan motif yang sama, yaitu menyelesaikan masalah.
Tomanurung di Makassar dan Gowa lahir hadir sebagai perwujudan pertikaian antar keluarga yang tidak terselesaikan. Disebutkan oleh Rahman bahwa, Gowa dengan Sembilan Gallarang, dan Bone dengan tujuh orang Matoa berdaulat di negerinya masing-masing.
Akan tetapi, baik Gowa maupun Bone sulit untuk keluar dari perselisihan hingga sering terjadi peperangan di antara mereka. Hadirlah Tomanurung sebagai seseorang yang kemudian diangkat oleh rakyat menjadi pemimpin.
Baik Bone maupun Gowa, pada akhirnya membentuk kerjasama dengan Gallarang di Gowa dan Matoa di Bone yang kemudian disebut sebagai Galarang. Banyak orang yang menyebutkan bahwa, corak mitos Tomanurng di Gowa merupakan corak politik pemerintahan.
Corak Tomanurung di Gowa dan Bone ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan Tomanurung di Soppeng. Merujuk pada turunnya Tomanurung di Sekkayiliq dan Goari, saat itu, Soppeng secara politik pemerintahan cukup stabil yang dipegang oleh Arung Bila.
Masalah yang begitu dominan persoalan ekonomi. Soppeng saat itu dilanda kekeringan sehingga sulit bagi rakyat untuk menanam padi sebagai sumber makanan.
Saat sedang paceklik, dikisahkan bahwa tibatiba sepasang burung berebut setangkai padi. Hal tersebut tentu menjadi hal yang menarik bagi Arung Bila karena saat itu Soppeng sedang dilanda kekeringan.
Akhirnya, Arung Bila dan masyarakat Soppeng memutuskan mengikuti burung tersebut. Ditemukanlah sebuah daerah Sekkayiliq yang makmur di tengah wilayah Soppeng yang paceklik.
Rahman mengisahkan bahwa, Tomanurung di Sekkayaliq kemudian diberi gelar Petta Manurungnge di Sekkanyaliq. Kepercayaan yang besar membuat masyarakat menerima saran dari Petta Manurungge yang menyarankan agar Soppeng mengangkat sepupunya mejadi raja yang saat itu berada di Goari.
Dari beberapa konsep Tomanurung tersebut, setidaknya ada dua garis besar yang menjadi catatang penting. Pertama, meski Tomanurung pada dasarnya berwujud manusia biasa, tetapi Tomanurung merupakan perwujudan sosok yang datang dari jauh.
Tomanurung bisa dari titisan dewa dari langit, tetapi bisa juga dari negara yang entah-berentah. Sosoknya memiliki kemampuan yang luarbiasa.
Kedua, Tomanurung hadir untuk menyelesaikan suatu persoalan. Jadi, dari berbagai masalah yang ada di suatu negeri, selalu ada orang yang menjadi penyelamat atas segala kekacauan yang ada.
Sekarang, bagaimana manarik garis Tomanurung ke dalam dunia modern dengan berbagai kerumitan dan kompleksitas masalah yang terjadi di setiap negara mau pun daerah?
Secara sederhana dapat ditarik garis seperti ini. Sosok yang kemudian hadir dengan kemiripan motif Tomanurung adalah mereka yang dari luar daerah, lalu kembali membangun daerahnya.
Mereka keluar mencari pengalaman, bisa berupa pendidikan, pengalaman pemerintahan, dan berbagai pengetahuan yang didapatkan dari luar. Hal tersebut lalu diaplikasikan ketika kembali ke daerah asal.
Kedua, mereka yang mampu berlaku bijak, mampu menjadi seorang pemimpin yang progresif dan solutif di tengah berbagai masalah yang dihadapi. Masalah di setiap daerah tentunya memilik porsi yang berbeda, akan tetapi di setiap masalah tersebut memungkinkan untuk diselesaikan oleh mereka yang ahli di bidang tersebut.
Satu hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa Tomanurung hadir karena tidak adanya solusi yang bisa dihasilkan oleh mereka yang berada di dalam negeri. Jadi, selama masih ada pemimpin yang solutif, maka konsep seperti mitos Tomanurung mungkin akan terpinggirkan.
Memaknai Tomanurung di Era Modern
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…