POROSMAJU.COM- Salah satu cara untuk merekatkan kerjasama pada masa kerajaan yaitu dengan melakukan perjanjian antar kerajaan. Perjanjian ini biasanya berupa hasil kesepakatan perang dan juga terdapat perjanjian yang dilakukan karena persahabatan antar kerajaan.
Ada beberapa perjanjian yang terjalin antar kerajaan di Sulsel yang lahir dari berbagai dinamika. Perjanjian tersebut seperti perjanjian Bone-Luwu, Bone-Gowa, Luwu-Wajo,dan juga Bone-Waja-Soppeng.
Salah satu perjanjian yang menarik adalah perjanjian tiga kerajaan Bone-Wajo-Soppeng yang disebut perjanjian Tellupoccoe.
Pada masa Bone di bawah pemerintahan Raja Bone ke-7, La Tenrirawe Bongkangnge (1544-1574), beberapa kali Bone mengalami bencana perang.
Perang antar kerajaan tersebut tentu saja melibatkan kerajaan-kerajaan besar seperti Gowa, Luwu, Bone, dan beberapa kerajaan lain.
Untuk memperkuat kedudukan tiga kerajaan yang saling bertetangga, Bone, Wajo, dan Soppeng, Bone di bawah pemerintahan La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu Soppeng yang bernama Lamappaleppe PollipuE Datu Soppeng.
Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, berkumpullah orang Bone, orang Soppeng, dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne Timurung sekarang bernama desa Allamungeng Patue, Kecamatan Ajangale.
Beberapa catatan lontara menyebutkan bahwa, kerajaan Bone saat itu diwakili La Tenrirawe Bongkangnge, Kajao Laliddong, dan pembesar-pembesar kerajaan Bone lainnya.
Sementara itu, kerajaan Soppeng, yaitu La Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng, Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrengnge, dan pembesar-pembesar kerajaan Soppeng lainnya.
Untuk kerajaan Wajo diwakili La Mungkace Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar-pembesar kerajaan Wajo lainnya.
B.F. Matthes dalam buku “Boeginesche Charestomatie” sebagaimana dikutip dalam buku yang berjudul “Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis” karya A. Rahman Rahim menyebutkan bahwa perjanjian tersebut sebagai “uluada”.
Di dalam perjanjian tersebut, ada beberapa poin yang kemudian menjadi kesepakatan antara ketiga kerajaan Bugis ini.
Malilu sipakainge’, Rebba sipatokkong, Siappidapireng riperi nyameng
Tessibaiccukeng, Tessiccinnaiyyang ulaweng matasa, Pattola malampe, Waramparang maega pada mellebbang ri saliweng temmallebbang ri laleng.
Teppettu-pettu siranreng sama-samapi mappettu, Tennawa –nawa tomate jancitta, Tennalariang anging ri saliweng bitara, Natajeng tencajie, Iya teya ripakainge’ iya riduai, Mau maruttung langie, Mawoto paratiwie, Temmalukka akkulu adangetta, Natettongi dewata seuwae.
Sirekkokeng tedong mawatang, Sirettoang panni, Sipolowang poppa, Silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.
Tessiottong waramparang, Tessipalattu ana’ parakeana
Mattes sebagaimana disebutkan dalam Rahim menerjemahkan perjanjian tersebut seperti berikut.
Apabila lupa maka saling mengingatkan, bilah rebah, maka saling menegakkan, kita saling mendukung, baik waktu sulit maupun di waktu lapang.
Tritunggal tidak saling memandang enteng; tidak saling mengingatkan emas murni, pakaian, dan barang berharga. Semoga bertambah rezeki. Kepada siapa pun yang tidak bersedia ditegur maka dialah yang diduai.
Kita memperluas keluar dan tidak memperluas ke dalam negeri masing-masing sahabat kita.
Kita bertiga ibarat matulu’parejo, saling mempererat, memperkuat, sehingga tidak putus jalin kelingnya. Bila putus satu maka sama-sama putus. Tidak ada turunan yang mewarisi dan diapun tidak diwarisi. Sedangkan burung pipit enggan bertengger pada turunan mereka yang meninggalkan emas murni, pakaian, dan barang berharga, dan kekayaan yang banyak.
Jikalau ada pihak yang kuat, tidaklah baku mematahkan sayap, mematahkan yang terbelintang. Kita saling menumpulkan runcing tanduk kerbau.
Tidak terjadi saling mengintai harta, tidak saling menguasai hak milik kepunyaan sahabat.
Setelah mengucap janji tersebut, ketiganya bersama-sama menanam batu kemudian menyebut negeri mereka sebagai Tellupocoe. Tiga negeri ini kemudian menghimpun sebuah kekuatan untuk melawan Gowa yang saat itu sangat berjaya.
Setelah perjanjian ini, ada dua hal yang menarik bahwa dinamika politik dan perang kemudian membuat perjanjian tersebut terabaikan. Sebagaimana dalam buku Leonard Y. Andaya Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawei Selatan Abad 17 bahwa saat Perang Makassar, pendukung utama Gowa selain Luwu adalah kerajaan Wajo. Saat itu, Gowa bersekutu dengan Wajo dan Luwu, sedangkan Gowa bersekutu dengan Soppeng.
Hal ini menunjukkan bahwa berabad-abad yang lalu, situasi sosial politik yang diakibatkan perang terkadang membuat suatu kerajaan mengambil jalan politis demi kerajaan dan rakyatnya dengan mengabaikan berbagai kesepakatan.
Kita mungkin megenal peristiwa tersebut dengan pameo politik “dalam politik, tak ada teman yang abadi, dan tak ada yang musuh yang abadi.”
Hal kedua, yang menarik dari perjanjian Tellupoccoe adalah akronim dari tiga kerajaan yang sekarang ini lebih banyak dikenal sebagai “bosowa” (Bone-Soppeng-Wajo) yang ternyata tidak sesuai dengan urutan saat itu.
Perjanjian Tellupoccoe mengutip Noorduyn, sebagaimana disebutkan Leonard Y Andaya, diurut berupa Bone, Wajo, Soppeng (bowaso). Hal ini sesuai dengan pandangan saat itu bahwa Bone merupakan saudara tertua, Wajo di tengah, dan Soppeng sebagai yang termuda.
Mengenang dan Mengenal Perjanjian Tellupoccoe, Bone, Wajo, Soppeng
Admin4 min read