Bagian Pertama
Oleh: dr. Dito Anurogo, MSc.*
*Dosen FK Unismuh Makassar, Dokter digital/online, penulis 20 buku, alumnus S-2 IKD Biomedis FK UGM, Pendiri Indonesia Menulis (Writenesia) dan Srikandi Forum Indonesia, email: ditoanurogo@gmail.com
POROSMAJU.COM, Masyarakat awam mengenal broken heart syndrome (BHS) sebagai sindrom patah hati. Hal itu kurang tepat. Terminologi BHS berarti kumpulan gejala yang ditandai oleh nyeri dada akut, tanda iskemik yang terlihat melalui gambaran elektrokardiografi (EKG),
Ketidaknormalan mirip balon yang bersifat sementara pada gerakan dinding jantung yang sebagian besar melibatkan apeks ventrikel kiri, peningkatan marker jantung, transien akinesia di ventrikel kiri dan mid ventrikel.
Pada BHS terjadi gangguan fungsi ventrikel yang terkait dengan ketidakcukupan aliran darah melalui aliran pembuluh darah arteri koroner.
Di literatur kedokteran, BHS memiliki banyak sekali sebutan alias sinonim.
Misalnya: happy heart syndrome, stress cardiomyopathy, Takotsubo cardiomyopathy, transient apical ballooning syndrome, neurogenic myocardial stunning, ampulla cardiomyopathy, Gebrochenes-Herz-Syndrome, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Meskipun memiliki banyak istilah, penulis lebih memilih BHS agar lebih familiar.
Sejarah
Istilah stress cardiomyopathy pertama kali diperkenalkan oleh Cebelin dan Hirsch pada tahun 1980. Tahun 1990, Hikaru Sato beserta tim memperkenalkan istilah takotsubo-like left ventricular dysfunction untuk menunjukkan bahwa bilik kiri jantung saat fase sistol berbentuk takotsubo.
Sekadar diketahui, takotsubo adalah octopus trap, yaitu perangkap octopus (gurita, cumi-cumi), menggambarkan apical ballooning (pembengkakan atau penggelembungan apeks jantung sehingga mirip balon). Pada tahun 1997, istilah stress cardiomyopathy dihidupkan kembali oleh Pavin dkk.
Di tahun 1998, gambaran ventrikulogram kiri di jurnal Circulation menarik perhatian banyak tim medis (termasuk dokter) karena penulis memberikan istilah “broken heart”. Peningkatan publikasi kasus BHS terjadi mulai tahun 2000an.
Pada tahun 2005, konsep resmi tentang BHS di bidang kardiologi dan penyakit dalam mulai ditetapkan di negara-negara Barat. Tahun 2006, BHS diklasifikasikan ke dalam kelompok acquired cardiomyopathies. Tahun 2016, BHS tercantum di dalam The Art of Medicine yang diterbitkan oleh Gramedia. Di tahun ini pula, Ghadri JR beserta tim berhasil mengungkapkan bahwa stres emosional positif juga berperan di dalam BHS, sehingga muncullah istilah happy heart syndrome.
Epidemiologi
Berbagai studi epidemiologi mengungkapkan bahwa BHS dijumpai pada 86-100% perempuan berusia 63-67 tahun, sebagian besar adalah wanita setelah masa menopause. Sekitar 2% penderita STEMI akut mengalami BHS. BHS juga ditemukan pada 1,7-2,2% pasien dengan sindrom koroner akut.
Usia rata-rata onset BHS adalah 58 hingga 75 tahun. Hanya sekitar 3% penderita BHS yang berusia kurang dari 50 tahun. Insiden BHS meningkat pada perempuan disebabkan berkurangnya kadar estrogen yang bersifat kardioprotektif setelah menopause.
Di Jepang, diperkirakan BHS dialami sekitar 1-2% penderita nyeri dada dan perubahan gambaran EKG berupa segmen-ST dinamis akut yang dirawat di rumah sakit. Di Amerika Serikat, BHS dijumpai pada 2-2,2% pasien dengan gambaran klinis STEMI atau unstable angina. Di Indonesia, belum ada data resmi terkait angka kejadian BHS.
Potret Klinis
Gambaran klinis khas penderita BHS adalah nyeri dada onset mendadak, sesak napas, napas pendek, terkadang disertai berkeringat banyak (diaphoresis), gambaran gagal jantung kongestif dengan perubahan EKG menyerupai STEMI akut dinding anterior. Gejala lain termasuk palpitasi (denyut jantung meningkat), vertigo atau sensasi kepala berputar, batuk, mual, hilang kesadaran sementara (syncope). Hanya sekitar 20% BHS diketahui bersamaan dengan gagal jantung.
Park dkk melaporkan insiden 28% Takotsubo-tipe disfungsi LV pada pasien yang dirujuk ke ICU (Intensive Care Unit) karena penyakit fisik non jantung.
Gangguan fungsi ventrikel kanan dapat dilaporkan pada 26-30% kasus BHS. Gagal jantung kongestif yang tiba-tiba, dyspnea, hipotensi juga dijumpai pada sebagian kasus BHS. Secara umum gejala klinis BHS hampir tidak dapat dibedakan dengan sindrom koroner akut.
Inilah yang menyebabkan dokter, internis, neurolog, kardiologis, beserta tim medis sulit segera menegakkan diagnosis BHS. Uniknya, meskipun jarang dijumpai, BHS ternyata dapat kambuh.
Kriteria BHS menurut Mayo Clinic (dimodifikasi tahun 2008) adalah: a). Kondisi hypokinesis, akinesis, dyskinesis sementara di segmen tengah bilik jantung kiri dengan atau tanpa keterlibatan apeks jantung; ketidaknormalan gerakan dinding yang meluas melewati distribusi pembuluh darah di epikardium; adanya faktor pemicu (sering, namun tidak selalu) berupa stres. b). Tidak ada penyakit arteri koroner obstruktif ataupun bukti angiografi yang menunjukkan ruptur plak akut. c).
Dijumpai kelainan EKG berupa peningkatan segmen ST dan/atau pembalikan gelombang T yang baru. Kadar troponin jantung di serum meningkat sedang. d). Tidak disertai phaeochromocytoma atau myocarditis. Keempat kriteria ini haruslah ada atau dijumpai pada penderita BHS. [dr.Dito Anurogo, MSc.]
Ini Dia Strategi Islami Atasi Broken Heart Syndrome
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…