POROSMAJU.COM, Bahasa pelakor atau perebut laki orang tiba-tiba menyeruak. Hal tersebut berawal dari munculnya video pelabrakan kepada seorang perempuan muda, oleh anak dari laki-laki yang ceritanya sedang di-re-but.
Setelahnya banyak vigram yang mengolah dan memarodikannya. Muncul pula beberapa meme yang mengintimidasi sosok pelakor. Habislah sudah amal perbuatan perempuan dengan label pelakor di dunia ini.
Baru-baru ini, tersebar melalui akun Facebook, sebuah video yang memperlihatkan perempuan berkostum merah dengan identitas pelakor dilempari berlembar-lembar uang nominal seratus ribu rupiah menyusul dengan makian ala Mie Naga level 11.
Lalu apa kabar penibor (perebut bini orang)? Agak asing di telinga memang, bukan karena populasinya tidak ada. Hanya saja masyarakat memang selalu menjadikan “perempuan” sebagai wadah menyalurkan kebencian tanpa mengikutsertakan lelaki.
Ketika pelakor (dalam kasus yang berbeda – wah banyak juga ternyata-) terlihat berlari memeluk laki orang-nya, beribu komentar menghujat Si perempuan, timbul tanpa tahu tenggelam. Katanya tidak punya malu. Kenapa tidak ada yang protes Si laki orang itu yang juga terlihat ikhlas lahir batin ketika dipeluk?
Kenapa masyarakat kita begitu enteng menyalahkan satu pihak dan masih bisa tidur dengan nyenyak setelahnya? Sampai-sampai sinetron dengan tema pelakor juga muncul dan menawarkan kesimpulan yang sama jahatnya.
Tanpa usaha mendukung pihak tertentu, tulisan ini muncul untuk menjawab pertanyaan di atas. Dengan kata kunci laki-laki, perempuan, dan kekuasaan yang disederhanakan dengan istilah budaya patriarki.
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan.
Hal yang sama juga dituturkan oleh psikolog anak dan keluarga yang juga Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini melalui sebuah forum diskusi.
Menurutnya, masyarakat kita patriarki, laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dibanding wanita. Bahkan jika mereka (laki-laki) yang merebut istri orang, perempuan yang akan lebih disalahkan. Hal ini tentu tidak jauh dari kebudayaan yang dianut di Tanah Air.
Sampai saat ini budaya patriarki masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekali pun.
Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan.
Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Anehnya lagi, pembullyan yang bertubi-tubi terhadap perempuan ini justru lebih banyak dilakukan oleh sesama kaum hawa.
Seolah menjadi perpanjangan tangan mengapa sah-sah saja perilaku perempuan cenderung tidak “lurus”.
Di masyarakat kita memang terdapat hukum yang berlangsung lama dan cenderung abadi, namanya hukum moral. Selanjutnya terserah kita yang menjalankannya (Kartini).
Menjelaskan Pelakor, Mengamini Budaya Patriarki
Read Also
Oleh : Muh. Haidir hakim, S.P., M.Si POROSMAJU.COM…
Oleh : Rahmat Ariandi, S.Hut., M.Hut – Dosen…