Porosmaju.Com, Makassar, Film dan buku merupakan dua bentuk kreativitas yang banyak digandrungi. Keduanya mampu merangkai peristiwa menjadi sebuah cerita.
Buku dengan karakteristik teks dengan berbagai bentuk penggambarannya dan film dengan karakteristik audiovisual dengan berbagai elemen pendukungnya. Keduanya terkadang melakukan aksi saling-silang.
Bentuk saling-silang keduanya adalah alihwahana dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Film ke buku, dan buku ke film.
Meski membukukan film tidak sebanyak buku yang difilmkan, tetapi keduanya tetap menjadi dua hal yang banyak kita temukan.
Misalnya, Seno Gumira Ajidarma pernah membukukan film “Biola Tak Berdawai”. Demikian juga dengan “Ada Apa Dengan Cinta 2″. Sesaat sebelum pemutaran, diterbitkan buku dengan judul yang sama oleh Nadia Silvarani.
Untuk memfilmkan buku, hal ini merupakan hal yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, sebut saja buku yang saat dialiwahanakan, sempat menjadi film yang banyak digandrungi masyarakat. Yang terbaru, ada “Dilan 1990” karya Pidi Baiq yang begitu fenomenal di tahun 2018.
Membuat film dari sebuah cerita yang sebelumnya merupakan sebuah buku menjadi sebuah fenomena yang menarik. Dua bentuk karya tersebut ternyata memiliki nasib yang begitu berbeda untuk beberapa karya tertentu.
Buku dan film memang merupakan dua hal yang benar-benar berbeda, akan tetapi untuk suatu cerita yang sama, keduanya tentunya memiliki benang merah yang sama. Buku biasanya dibangun dari narasi karakter toko dan penggambaran suasana, serta alur cerita.
Sedangkan film, karakter, dan alur cerita, teknik sinematografi merupakan hal yang menjadi pendukung utama. Pengambilan sudut pandang dalam perekaman, cahaya, musik, dialog, dan visualisasi tokoh merupakan pendukung utama dalam film.
Dengan karakteristik yang berbeda, keduanya kemudian mengalami nasib yang berbeda. Misal, “Habibie dan Ainun” karya Baharuddin “Habibi” Jusuf. Tiga bulan awal, Habibi dan Ainun menempati best seller. Hanya saja, jumlah penjualannya hanya berkisar 50 ribu eksamplar buku di tiga bulan tersebut.
Habibie dan Ainun kemudian dibuat menjadi film oleh MD Entertainment. Jumlah penontonnya jauh melampaui jumlah penjualan bukunya.
Tercatat, sebanyak 4,5 juta orang telah menonton Habibie dan Ainun di bioskop seluruh Indonesia. Hal ini tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah pembeli dalam bentuk buku.
Demikian halnya dengan Tenggelamanya Kapal Van Der Wijk, sebuah karya besar dari Hamka tersebut ditonton sebanyak 1,7 juta penonton. Bahkan, sebuak karya yang sebenarnya sudah terbit dalam buku pada tahun 1938 ini, kemudian menjadi karya yang banyak diketahui setelah difilmkan.
Bayangkan, sebuah karya yang sudah terbit sejak 70-an tahun yang lalu, baru digandrungi di tahun 2013 memalui sebuah film.
Yang terbaru adalah, Dilan 1990, buku karya Pidi Baiq tidak mampu menembus sejuta eksampler penjualan. Setelah difilmkan pada tahun 2018, film tersebut ditonton hingga 6 juta pasang mata.
Meski novel ini sudah terbit sejak tahun 2014, tetapi pengaruh Dilan benar-benar terasa pada tahun 2018. Kata-kata tokoh Dilan menjadi kutipan yang paling banyak dikutip di awal tahun 2018.
Bahkan bisa dikatakan, Dilan mampu memengaruhi kondisi sosial masyarakat pada tahun 2018 dalam berbagai bentuk. Mulai dari kutipan yang di plesetkan, hingga tokoh-tokoh politik yang kadang menggunakan nuansa Dilan di dalam kampanye.
Mebandingkan dua karya tersebut seolah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat audiovisual dan kurang gemar terhadap membaca (buku). Hal ini tentu saja sangat logis mengingat harga sebuah tiga tiket untuk menyaksikan sebuah film di bioskop, cukup untuk membeli dua buku dengan cerita yang sama.
Akan tetapi, dengan berbagai kekuatan dan kualitas, dalam kasus tertentu, film melampaui pencapaian buku.
Buku dan Film, Dua Karya Berbeda Nasib
Read Also
POROSMAJU.COM, Sebuah nama kembali muncul ke permukaan. Rocky Gerung,…
POROSMAJU.COM- Jika kita menelusuri jalan provinsi, 7 kilometer arah…